Kala Bulu Burung Berbicara
Tersimpan di sejumlah museum sejarah alam di wilayah Amerika Serikat yang pernah mengalami kejayaan industri, ribuan bangkai burung mengungkap cerita kelam tentang bahaya polusi.
Banyak yang terkejut melihatnya. Ketika dua bangkai burung horned lark dijejer bersebelahan, tampak perbedaan kontras pada warna bulu mereka: yang satu putih, yang lain nyaris hitam.
Horned lark adalah burung penyanyi dengan bulu asli warna putih dan wajah serta leher semburat kuning. Burung kecil ini berjalan ketimbang melompat-lompat, dan mengeluarkan nyanyian bernada tinggi bahkan saat ia berada di tanah.
Populasi burung tersebut telah lama merosot karena perubahan fungsi lahan. Habitat mereka di dataran terbuka dan ladang pertanian di hemisfer utara telah beralih menjadi pemukiman atau infrastruktur.
Kini, burung bernama Latin Eremophila alpestris ini juga menjadi bagian penting dalam rekam sejarah polusi udara di wilayah Rust Belt, AS, selama 135 tahun terakhir. Rust Belt terbentang dari New York sampai Midwest, dan pernah didominasi oleh industri baja.
Saat mengamati lebih dari 1.300 jasad burung dari 5 spesies yang pernah hidup di wilayah Rust Belt dan kini diawetkan dalam koleksi sejarah alam, Shane DuBay dan Fuldner dari University of Chicago mendapati temuan mengejutkan.
Di dalam bulu-bulu burung dari awal 1900-an itu - dari horned lark, pelatuk kepala merah, towhee timur, sampai burung gereja - para peneliti menemukan betapa banyak karbon hitam atau jelaga yang terakumulasi.
Penelitian yang dimuat di Proceedings of the National Academy of Sciences ini lantas tak hanya menjabarkan perbedaan warna yang mencolok, tapi juga menganalisis jumlah akurat karbon hitam di dalam bulu-bulu itu. Caranya? Mengukur dari potret jumlah cahaya yang memantul dari burung-burung tersebut.
Karbon hitam adalah jenis materi partikulat (alias PM) yang dihasilkan oleh mesin gas dan diesel, serta pusat pembangkit listrik dari batu bara. Partikel-partikel ini secara efektif menyerap cahaya matahari dan mencegahnya dipantulkan ke atmosfer.
Burung-burung yang hanya berganti bulu satu kali dalam setahun pun menjadi semacam kemoceng yang mengumpulkan materi partikulat di tubuh mereka. Melalui foto, DuBay dan Fuldner bisa mengumpulkan catatan visual secara efektif tentang berapa besar karbon hitam yang dikumpulkan burung-burung tersebut.
"Kalau Anda menatap Chicago saat ini, Anda akan melihat langit biru. Namun, ketika Anda melihat foto-foto Beijing dan Delhi, Anda bisa membayangkan udara di Chicago dan Pittsburgh dahulu kala," ujar DuBay.
Menurut kedua peneliti tersebut, menganalisis bulu-bulu burung ini ibarat menangani percetakan koran. Jelaga di bulu burung-burung tersebut sulit untuk disingkirkan, dan sarung tangan yang digunakan para peneliti untuk memegang bangkai-bangkai burung itu penuh dengan noda hitam.
Meski demikian, jelaga dan noda tersebut telah memberikan data penting yang memungkinkan kita mengetahui kaitan antara tingkat karbon hitam dan data sejarah tentang regulasi lingkungan hidup atau konsumsi bahan bakar.
Misalnya, selama Depresi Besar yang menghancurkan perekonomian global pada 1930-an, merosotnya konsumsi batu bara membuat jejak jelaga pada bulu burung dari era tersebut lebih sedikit.
Namun, saat kemudian terjadi ekspansi ekonomi besar-besaran pasca Perang Dunia II, bulu burung dari masa itu kembali menggelap.
Meski burung-burung ini menghadirkan catatan sejarah yang tak biasa, jangan anggap mereka sebagai peninggalan masa lalu belaka.
Materi partikulat, meski tidak lagi terlalu lazim di AS, masih dihasilkan sebagai emisi dan dapat memperburuk kondisi kesehatan seperti asma dan penyakit paru, tandas American Lung Association.
"Kita tahu bahwa karbon hitam adalah agen kuat dari perubahan iklim, dan pada pergantian abad, tingkat karbon hitam jauh lebih buruk dari yang diduga sebelumnya," DuBay mengingatkan.
Oleh karena itu, DuBay berharap hasil penelitian ini dapat membantu ilmuwan iklim dan atmosfer untuk memahami lebih baik dampak dari karbon hitam pada iklim.
Meski sebagian besar karbon hitam berasal dari negara berkembang, sebesar 0,51 juta metrik ton dihasilkan di AS pada 2011, ungkap Arctic Council. Kontribusi terbesar dibuat oleh sektor transportasi, dan ada pula "sumbangan" dari pembangkit energi batu bara.
"Bulu burung dari masa lalu ini menunjukkan titik balik ketika kita menjauh dari pembakaran batu bara kotor. Saat ini, kita berada pada momen penting serupa dengan bahan bakar fosil," tandas DuBay.
Misteri Punahnya Miliaran Merpati
Amerika Utara pernah menjadi utopia bagi burung merpati penumpang, atau Ectopistes migratorius. Ketika koloni dari Eropa tiba di sana, 5 miliar burung telah menempati benua tersebut.
Bayangkan saat burung sebanyak ini bermigrasi. Seluruh penjuru langit dipenuhi oleh mereka. Namun, hanya beberapa dekade kemudian, komersialisasi dan perburuan berlebihan memusnahkan seluruh populasi.
Jurnal Science baru-baru ini mengungkap penyebab merpati penumpang punah begitu cepat dan menyeluruh. Saat menganalisis DNA spesimen yang diawetkan, para peneliti mendapati burung ini cocok hidup dalam kawanan padat, tapi tak sanggup bertahan saat anggota kelompok mulai berkurang.
Jumlah merpati penumpang begitu besar dan mobilitas mereka tinggi. Akibatnya, keragaman genetik hilang secara keseluruhan, yang berarti lebih sedikit materi untuk beradaptasi terhadap perubahan yang dipicu manusia.
Kasus merpati penumpang ini menunjukkan, populasi besar pun tidak aman dari kepunahan.
Komentar