Stigma Negatif Terhadap Pekerja Penyandang Hepatitis
Penyandang hepatitis usia produktif kerap mendapat stigma negatif dalam dunia kerja. Mari pahami hepatitis, agar kita terhindar dari sikap diskriminatif.
Sebagai Ketua Komunitas Peduli Hepatitis, tidak hanya sekali dua Marzuita mendengar keluhan dari penyandang hepatitis yang mengalami perlakuan diskriminatif di lingkungan kerja mereka.
Diskriminasi yang kerap terjadi antara lain tidak diterima bekerja, tidak bisa naik pangkat, atau tidak diterima menjadi pegawai tetap bila hasil pemeriksaan kesehatan menunjukkan bahwa pekerja positif hepatitis B atau C. Menurut Marzuita, dalam satu tahun, rata-rata bisa ada sepuluh keluhan terkait diskriminasi di tempat kerja.
"Ada begitu banyak stigma negatif di masyarakat untuk hepatitis B atau C. Kedua penyakit ini masih dianggap sebagai aib atau hal yang menakutkan. Selain itu, banyak yang keluarganya merasa takut dikucilkan, karena takut dianggap sebagai sumber penularan penyakit," ungkap Marzuita.
Bahkan, Ita mengaku pernah menerima surat dari salah satu SMA di Bogor, terkait persyaratan penerimaan siswa baru. Surat tersebut menyatakan bahwa calon murid harus bebas dari tak hanya HIV/AIDS, tetapi juga hepatitis.
Semua bentuk perlakuan tak menyenangkan yang dialamatkan pada pasien hepatitis sudah dapat dikategorikan sebagai diskriminasi.
Salah satunya adalah saat suatu perusahaan mewajibkan screening hepatitis pada karyawan, baik untuk kebutuhan recruitment maupun promosi. Padahal, berdasarkan peraturan dunia kerja, screening tidak diperkenankan.
DR. Dr. Kasyunil Kamal, M.S, So.OK dari Perhimpunan Dokter Spesialis Okupasi (PERDOKI), menegaskan bahwa screening untuk hepatitis B (HBsAg) bukanlah parameter yang harus dilakukan saat recruitment.
"Surat edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan Tahun 1997 menyebutkan tentang peniadaan hepatitis B dalam pemeriksaan kesehatan tenaga kerja," jelas Dr. Kasyunil.
Menurutnya, pemeriksaan hepatitis diperlukan hanya untuk jenis pekerjaan tertentu, seperti bidang medis atau pengolahan makanan. Bila hasilnya positif, maka bisa dilanjutkan dengan pemeriksaan fungsi hati, misalnya SGOT/SGPT. Screening hepatitis juga lebih tepat diberikan untuk calon pekerja yang harus berpaparan dengan bahan kimia, karena kondisi tersebut berisiko memperberat kerusakan hatinya.
Di luar pengecualian-pengecualian tersebut, pemeriksaan fungsi hati tidaklah diperlukan bagi semua jenis pekerjaan.
"Apalagi untuk pekerjaan kantoran, tidak perlu ada pemeriksaan HBsAg. Saya rasa itu berlebihan, karena kemungkinan perusahaan tersebut juga tidak memahami apa fungsinya," tegas Dr. Kasyunil, yang juga merupakan staf pengajar Program Studi Magister Kedokteran Kerja FKUI/RSCM.
Ia menegaskan bahwa selama tidak ada peradangan, penderita hepatitis masih dapat bekerja seperti biasa. Yang penting, kesehatan mereka harus selalu dimonitor dan dilakukan antisipasi seandainya ada hal-hal yang bisa memberatkan penyakit.
Lebih jauh Dr. Kasyunil memaparkan bahwa peraturan ini tidak hanya berlaku untuk penyakit hepatitis, tetapi juga penyakit kronis lain, seperti penyakit jantung, diabetes, dan hipertensi.
"Diterima atau tidak diterimanya calon karyawan terkait kondisi kesehatan harus disertai alasan kuat," ujar Dr. Kasyunil. "Misalnya, pekerjaan tersebut dipandang akan memperberat penyakit calon karyawan, adanya risiko penularan, atau risiko keselamatan kerja bagi lingkungan kerja maupun masyarakat."
Pendapat senada ditegaskan oleh DR. Dr. Rino Alvani Gani, Sp.PD-KGEH, Ketua Komisi Ahli Hepatitis Kementerian Kesehatan.
"Banyak penderita hepatitis B dan C yang mampu beraktivitas seperti biasa. Penularannya pun tidak semudah itu, harus melalui kontak darah. Misalnya, melalui transfusi darah, jarum suntik, atau jarum tato," tegas Kepala Divisi Hepatologi Departemen Penyakit Dalam FKUI/RSCM ini.
"Jadi, stigma negatif di masyarakat dan lingkungan kerja terhadap penderita hepatitis B dan C tidak beralasan," lanjutnya. "Untuk bidang medis, tentu harus ada pertimbangan karena mereka berhubungan langsung dengan pasien. Tapi untuk non-medis, apalagi kerja kantoran di balik meja, apa masalahnya?"
Hepatitis sendiri, menurut Dr. Rino, perlu 20-30 tahun untuk menjadi sirosis, saat organ hati mengecil dan mengeras, fungsinya menurun, dan akhirnya menimbulkan kanker hati. Sirosis muncul akibat peradangan yang terjadi terus-menerus karena tubuh tidak mampu menghilangkan infeksi secara tuntas.
Meski demikian, Dr. Rino menerangkan bahwa tidak semua infeksi hepatitis menimbulkan keluhan dan menjadi kronis.
"Dari sekian banyak jenis virus hepatitis, yang sering menyebabkan hepatitis kronis adalah hepatitis B dan C. Adapun jumlahnya sekitar 30-40 persen saja yang berlanjut kronis dan menimbulkan gangguan seperti sirosis," tandas Dr. Rino.
Perlu diketahui bahwa HBsAg adalah protein virus. Artinya, jika hasilnya positif, berarti ada virus hepatitis B di tubuh. Namun, indikator positif tersebut tidak lantas menunjukkan bahwa seseorang sakit karena protein yang diproduksi virus banyak sekali.
"Meskipun virusnya dorman atau tidak aktif, tetap saja HBsAg-nya positif atau reaktif," jelas Dr. Rino. "Jika perusahaan ragu dengan status HBsAg positif calon karyawan, sebaiknya lakukan pemeriksaan lebih lanjut, misalnya enzim hati (SGOT/SGPT) yang dapat menunjukkan adanya peradangan hati yang aktif."
Perlu dipahami bahwa tidak semua hepatitis B perlu diobati, dan hanya perlu monitoring secara berkala, tergantung dari tingkat kerusakan hati.
"Untuk yang perlu diobati, memang ada obat yang bisa mencegah perburukan penyakit hati," papar Dr. Rino.
"Obat untuk menekan virus mungkin perlu diminum dalam jangka panjang atau bahkan seumur hidup. Tapi, patut diingat bahwa bukan hanya hepatitis B yang perlu obat seumur hidup. Hipertensi, diabetes, atau kolesterol pun demikian," tegas Dr. Rino.
Kabar baiknya, untuk hepatitis C, saat ini sudah ditemukan obat DAA direct-acting antiviral (DAA) yang bisa menghilangkan virus dengan angka keberhasilan hingga 98 persen.
"Jadi, apa yang ditakutkan?" tandas Dr. Rino. "Yang jadi masalah justru bila kondisi ini tidak ketahuan, sehingga tidak diobati dan penyakit memburuk. Tapi, jika diketahui, penyakit hepatitis bisa dikontrol dan diobati."
Hal senada diungkapkan Marzuita, yang almarhum suaminya meninggal akibat sirosis karena hepatitis C. "Ketidaktahuan mengenai penyakit ini membuat suami saya telat berobat," tuturnya.
Karena itu, ia mengingatkan bila ada anggota keluarga yang kena hepatitis B atau C, langkah yang perlu dilakukan adalah screening bagi seluruh anggota keluarga.
"Ini akan membuat penyakit bisa diketahui lebih awal. Semakin dini diketahui, semakin mudah pula disembuhkan," tandas Marzuita.
Untuk mengatasi diskriminasi terhadap pekerja dengan hepatitis, Dr. Rino dan Dr. Kasyunil sepakat bahwa kita memerlukan peraturan atau perundang-undangan agar penderita hepatitis mendapat hak yang sama di tempat kerja.
Dengan demikian, semoga tak ada lagi stigma negatif terhadap penyandang hepatitis, di mana pun mereka berkarya.
Sejarah Hati yang Hakiki
Hati telah lama dipandang sebagai organ tubuh yang penting. Masyarakat Mesopotamia, peradaban tua di wilayah yang kini bagian dari Irak, meyakini organ hati adalah "rumah" bagi jiwa dan emosi manusia. Sementara itu, bangsa Yunani kuno mengaitkan hati dengan kenikmatan. Karena itu, mereka memiliki akar kata yang sama untuk "hepatik" dan "hedonik".
Orang Inggris di era Elizabethan (abad ke-16) merujuk kerajaan monarki bukan sebagai kepala negara, melainkan hati (lever). Bagi mereka, hati juga merupakan pusat keberanian, sehingga memunculkan istilah lily-livered (hati yang pucat ibarat warna bunga lili), yang berarti pengecut.
Komentar