Mari Kembali Sejukkan Timeline Kita di Media Sosial



Indonesia adalah pengguna Internet dengan pertumbuhan tercepat di dunia, dengan 30 persen dari total penduduk tercatat sebagai pengguna media sosial aktif. Sudahkah jumlah yang sebesar ini menggunakan media sosial dengan bijak?

Bayangkan bahwa Anda sudah diterima di sebuah universitas ternama yang lama Anda incar. Masa depan nan cerah membentang di hadapan Anda. Tapi, Anda lantas menerima kabar bahwa tempat Anda dicabut ... hanya gara-gara status Facebook!

Ini sungguh terjadi baru-baru ini. Harvard University yang elite dan tersohor itu mencabut penerimaan 10 calon mahasiswa karena aktivitas mereka di Facebook menunjukkan perilaku rasis. Harvard pun membatalkan tawaran tempat bagi calon mahasiswa itu karena menganggap "kedewasaan dan karakter moral" mereka patut dipertanyakan.

Ini hanya satu contoh dari konsekuensi perilaku yang tak bijak saat bermedia sosial. Masih banyak contoh lain yang menunjukkan bagaimana unggahan yang bersifat sensitif, kontroversial, atau bernada provokasi di media sosial kemudian menjadi bumerang yang merugikan si pengunggah.

Mengapa ini terjadi?

Menurut analisis Raymond Godwin, S.Psi., staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara, fenomena ini timbul akibat penggunaan media sosial yang tidak bertanggung jawab dan tidak didasari sikap kritis dalam menulis maupun membaca.

"Unggahan di media sosial dapat ditulis oleh siapapun. Di media konvensional, tulisan yang dapat dimuat adalah tulisan seseorang yang sudah terlebih dahulu dicek kepakarannya. Di media sosial, siapapun yang memiliki akun bisa menulis apapun yang ia pikirkan," jelas Raymond.

Selain itu, lanjut Raymond, tulisan di media sosial dapat diakses dan disebarkan secara mudah oleh siapa saja. Di satu sisi, kebebasan dalam menulis ditambah kemudahan penyebaran menjadi nilai tambah media sosial dibandingkan media konvensional. Di sisi lain, ketiadaan tahap penyaringan, baik dari media sosial sendiri maupun si penulis, membuat isi tulisan rentan untuk diragukan kebenarannya.

Gawatnya, di negara kita ini diperparah dengan faktor rendahnya minat baca maupun sikap kritis dalam membaca, sehingga membuat seseorang tidak mengecek kembali kebenaran dari unggahan yang ia temukan di media sosial. Inilah yang kemudian berpotensi membuat tulisan di media sosial dapat berakibat negatif.

Sementara itu, DR. Ade Iva Wicaksono, S.Si., M.Si., Dekan Fakultas Psikologi Universitas Pancasila, menyoroti perilaku di dunia maya yang berujung pada hilangnya esensi hubungan sosial, terutama melalui unggahan yang tidak bertanggung jawab.

"Media sosial memang menjadi alat komunikasi yang menghubungkan antar pribadi. Namun, di sisi lain, media sosial juga menjadi panggung untuk orang-orang tertentu memamerkan sesuatu yang dimiliki ataupun aktivitas yang dilakukan, bahkan juga mengunggah hal atau pendapat yang memicu kontroversi maupun provokasi," papar Iva.

Selain hilangnya esensi hubungan sosial, Iva juga menyoroti perilaku yang kurang bijak di media sosial yang membuat hilangnya tata krama sosial. Misalnya, kini tampaknya tak ada lagi perasaan saling menjaga perbedaan pilihan politik maupun agama. Orang tak lagi mempertimbangkan bahwa pendapatnya di media sosial akan dibaca oleh orang yang berbeda pandangan dan prinsip.

"Akibatnya, tata krama sosial pun sekarang ini sulit sekali diajarkan kepada anak-anak," tukas Iva. "Caci maki, ungkapan kasar, hingga bully tanpa disadari telah turut andil dalam proses tumbuh kembang anak di masa kini. Anak-anak kita sudah terbentuk tanpa tata krama sosial."

Iva mengingatkan bahwa terlalu banyak yang harus dikorbankan dari perilaku tak bijak di media sosial. Orangtua dan guru seharusnya memikirkan bahwa salah satu model pendidikan yang harus diterapkan pada anak adalah etika dan tata krama di dunia maya dengan bijak menggunakan sosial media.

Umumnya, unggahan yang sering menjadi pemicu kemarahan atau bahkan konflik adalah unggahan yang mengincar sisi emosi pembaca. Dan tulisan seperti demikian akan rentan untuk membuat pembaca tidak kritis.

"Siapa pun bisa menjadi kurang atau tidak bijak dalam mengunggah sesuatu di media sosial yang memicu emosi tersebut. Namun, kemungkinan terbesar individu yang melakukan hal ini adalah yang tidak memiliki sikap kritis dan perilaku pembaca yang kurang," tegas Raymond.

Memang, kemudian dalam mengakses media sosial, baik lewat ponsel pintar, tablet, maupun komputer, membuat media sosial saat ini dapat dengan mudah masuk sebagai bagian dalam keseharian seseorang

Akibatnya, peluang untuk mempengaruhi sikap seseorang tentu menjadi lebih besar.

Karena medianya berbentuk tulisan maupun video, maka pikiran dan emosi akan menjadi dua hal yang dapat dipengaruhi. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang lebih banyak mengandalkan sisi emosi, tulisan dan video dapat lebih menimbulkan pengaruh yang lebih besar.

Nah, jika sisi emosi sudah terpengaruh, kemungkinan besar sisi kognitif akan terpengaruh juga. Dan jika yang terakhir ini terjadi, besar peluang orang tersebut untuk ikut terpengaruh.

Terkadang, mungkin si penulis sekedar membuat unggahan berupa menuliskan kesehariannya atau berbagi pendapat tanpa bermaksud buruk. Namun, yang selalu dilupakan adalah bahwa penulis tidak dapat mengontrol persepsi pembaca. Setiap pembaca dapat membuat persepsi yang berbeda-beda terhadap tulisan yang dilihat.

Meski demikian, tak tertutup kemungkinan ada pihak-pihak yang dengan sengaja melakukan provokasi melalui media sosial untuk kepentingannya sepihak atau untuk membentuk persepsi negatif pembaca terhadap sesuatu.

Solusi pun ditawarkan oleh para pakar untuk membuat media sosial kita kembali sejuk.

"Masing-masing dari kita harus kembali sadar bahwa tulisan-tulisan di media sosial sangat perlu dikritisi dan perlu selalu dicek kebenarannya. Dengan kata lain, masyarakat harus bisa bersikap kritis terhadap unggahan di media sosial," tegas Raymond.

Bagaimana jika yang mengunggah hal-hal yang kurang bijak di media sosial adalah orang yang kita kenal? Menurut Iva, jika hubungan kita cukup dekat dengan orang tersebut, jangan ragu untuk mengingatnya. Dekati dia dan tunjukkan bahwa perilakunya di media sosial dapat merugikan tak hanya orang lain, tapi juga dirinya sendiri.

Sementara itu, Iva mengingatkan agar kita jangan tergantung pada media sosial. Ketergantungan inilah yang menjadi pintu masuk seseorang untuk menuliskan atau mengunggah sesuatu yang terlintas di benaknya tanpa memikirkan dampak buruk yang mungkin ditimbulkan.

Secara senada, Raymond menyarankan agar kita menutup akses dari akun-akun yang tidak bertanggung jawab, provokatif, atau selalu menjelekkan golongan tertentu. Agar tak terprovokasi, jadilah pembaca yang kritis dan pelajari berbagai sumber.

Selanjutnya, agar kita sendiri tidak melakukan hal serupa: teliti terlebih dahulu topik yang hendak kita tulis. Pelajari atau baca berbagai sumber mengenai topik tersebut.

Dampak dari perilaku buruk di media sosial sudah tidak main-main, karena bisa mengarah pada provokasi sosial dan cyber bullying.

"Jadi, masalahnya tidak sekedar unggah sesuatu, tapi efek dari unggahan tersebut yang menggerus esensi sosial dan tata krama sosial. Ini adalah problem besar yang harus disikapi dengan bijak oleh kita semua," pungkas Iva.

Jika media sosial adalah keniscayaan yang tidak bisa dibendung, maka yang bisa kita lakukan adalah menjadi lebih teliti dan kritis, serta memilah hal yang positif untuk diunggah. Mari, kembali sejukkan timeline kita di media sosial.



Komentar

Paling Banyak Dibaca 👷👸👳👲👱👮👴👵👷

Selama Bulan Puasa Penghasilan Pengemis Ini Rp. 90 Juta

Ts'ai Lun, Penemu Kertas

Mengenal Komunitas Rajut Kejut

Mengenal Komunitas Yoga Gembira

Angka Penderita Diabetes di Indonesia Semakin Meningkat