Mengatasi Problem Konsentrasi Anak dan Remaja

Kemampuan konsentrasi remaja masa kini tak lebih dari delapan detik, satu detik lebih pendek dari ikan mas koki! Saatnya mengajak anak kembali fokus.

Data tersebut merupakan hasil penelitian sebuah studi di Kanada pada 2013.

Terlepas dari angka, kita bisa dengan mudah melihat bagaimana gangguan konsentrasi menjadi problem besar yang dihadapi milenial saat ini. Perkembangan teknologi turut berkontribusi pada kesulitan konsentrasi.

Mari kita mulai dari makna konsentrasi itu sendiri. Clarisa Tania, M.Psi., dari Yayasan Pulih, menjelaskan bahwa konsentrasi berarti kemampuan seseorang untuk fokus pada satu hal dalam satu waktu, tidak terdistraksi dengan apa pun.

"Konsentrasi atau fokus seseorang terkait dengan berbagai faktor, di antaranya minat atau ketertarikan dengan bidang tertentu, dan sejauh mana dia menguasai hal tersebut," papar Clarisa.

Pastikan juga bahwa secara psikologis, sang individu tidak memiliki gangguan kecemasan, ketakutan berlebih, maupun trauma. Tentu, konsentrasi harus didukung lingkungan sekitar yang mendukung, misalnya tidak bising.

Penjelasan senada diberikan oleh Siti Jessika A., M.Psi., Psikolog, dari Seven Consulting.

Menurut psikolog yang akrab disapa Chika ini, konsentrasi adalah kemampuan seseorang untuk memusatkan perhatian pada kegiatan yang sedang dia lakukan sampai kegiatan tersebut selesai atau sampai waktu yang ditentukan.

"Untuk usia remaja, yakni mereka yang berusia 12-24 tahun menurut WHO, normalnya dia akan dapat berkonsentrasi dengan penuh kurang-lebih sekitar 25 sampai 50 menit," papar Chika.

Lebih jauh Chika menjabarkan bahwa faktor yang dibutuhkan dalam konsentrasi seseorang, selain kerja otak dan hormon pendukung yang befungsi baik, adalah stimulasi sensori yang tidak terganggu. Dia dapat memilah suara yang ingin didengar dan stimulus visual yang ingin dilihat.

"Jika ada kesulitan konsentrasi, penyebabnya harus ditelaah lebih jauh, apakah faktor internal atau eksternal," ujar Chika.

Jika penyebabnya berasal dari kemampuan otak atau hormon, maka bisa jadi individu tersebut kesulitan mengolah stimulus yang masuk, sehingga sulit baginya untuk memproses dan berkonsentrasi terhadap informasi yang dia terima.

"Namun, jika penyebabnya adalah faktor eksternal, maka orangtua dan orang lain di sekelilingnya perlu membantu untuk menciptakan suasana yang kondusif agar anak dapat berkonsentrasi," tandas Chika.

Selain itu, faktor eksternal seperti lingkungan yang terlalu ramai, berisik, atau banyak suara keras tentu akan membuat remaja sulit berkonsentrasi, karena terlalu banyak stimulus audio sensoris di sekitarnya.

Dalam hal ini, turut andil pula pola asuh orangtua yang permisif, yang cenderung membiarkan anak jika ada tugas yang belum dia selesaikan dan berpindah ke kegiatan lain. Anak kurang diajarkan untuk menyelesaikan pekerjaannya hingga tuntas.

Faktor psikologis turut berperan. Ketika anak remaja merasa nyaman, tidak cemas atau ketakutan, maka dia dapat berkonsentrasi dengan sesuai. Namun, jika dia cemas atau ketakutan terhadap sesuatu, maka akan sulit baginya untuk berkonsentrasi.

Clarisa mengingatkan karena kondisi fisik mendukung terwujudnya konsentrasi, maka faktor ini penting untuk diperhatikan.

Caranya? Orangtua dapat memastikan anak menjalani sarapan pagi, minum cukup, tidur cukup, dan kondisi tubuh secara keseluruhan dalam keadaan fit atau segar.

Kedua pakar ini juga menyoroti dampak penggunaan gawai dan ber multitasking (misalnya menonton video di ponsel sambil mengerjakan tugas) yang juga sangat memengaruhi kemampuan konsentrasi.

"Multitasking berisiko mengganggu konsentrasi anak remaja karena membuat fokusnya terbagi, tidak hanya pada satu pekerjaan," ujar Clarisa. "Anak akan lebih fokus ke video karena lebih menyenangkan, dan saat menyalakan ponsel, indra yang terlibat lebih banyak."

Menurut Clarisa, ini karena konsentrasi juga dipengaruhi motivasi. Kurang motivasi akan membuat anak tidak mengutamakan belajar sebagai tugas utama, dan memilih untuk mencari hal yang lebih menarik karena dia tidak termotivasi.

Terkait penggunaan gawai untuk ber multitasking bagi anak remaja, Chika mengatakan bahwa ada anak yang dapat mengerjakan tugas sambil mendengarkan musik, namun ada pula yang tidak.

"Dengan karakteristik remaja yang masih belajar mengendalikan dorongan  dari dirinya sendiri, maka godaan gawai yang memberikan stimulus lengkap (dari visual sampai audio) menjadi sangat kuat," tandas Chika.

Sering kali, para remaja sulit untuk menahan diri dan lebih banyak bermain gawai dibandingkan belajar atau mengerjakan tugasnya. Maka, ada baiknya orangtua mengawasi penggunaan gawai pada anak.

Ini termasuk menerapkan aturan main dan, yang paling penting, mencontohkan. Misalnya, ada waktu ketika gawai tidak boleh disentuh sama sekali, seperti saat makan malam, saat belajar, saat waktunya tidur, dan saat sarapan.

"Terkait aturan penggunaan sehingga anak tahu kapan gawai harus dimatikan dan dapat berkonsentrasi dengan baik, dan kapan gawai dapat dinyalakan kembali," saran Chika.

Caranya? Buatlah jadwal penggunaan gawai yang disepakati bersama dengan anak.

Misalnya, satu jam penggunaan gawai setelah makan siang, satu jam penggunaan gawai setelah mandi sore, dan satu jam penggunaan gawai setelah belajar di malam hari.

"Jika melanggar, maka ada konsekuensinya yang juga disepakati bersama. Misalnya, jika melanggar aturan maka gawai akan disimpan selama satu hari," tegas Chika.

Psikolog tersebut juga mengingatkan agar orangtua mengajarkan anak remaja untuk memanfaatkan gawai untuk tujuan yang baik, seperti mencari tahu informasi mengenai tugas sekolah atau menanyakan kabar orangtua atau saudara jauh.

"Keterbatasan interaksi keluarga membuat gawai menjadi satu-satunya sumber hiburan bagi anak. Orangtua terlalu sibuk untuk punya waktu bertatap muka dan mengobrol bersama anak," tandas Clarisa. "Mestinya, ada waktu keluarga yang diisi dengan aktivitas yang dilakukan bersama."

Jika gangguan konsentrasi sudah sangat parah, ada dua alternatif terapi yang bisa dilakukan, yaitu tetapi perilaku dan terapi obat.

"Selama terapi dijalani dengan rutin dan kegiatan di rumah sejalan dengan di tempat terapi, maka hasilnya akan maksimal, akan ada perubahan ke arah yang lebih baik," jelas Chika.

Namun, kemajuan setiap anak untuk memulihkan kemampuan konsentrasinya berbeda-beda. Ada yang lebih cepat, ada yang membutuhkan waktu lebih lama. Tidak ada perubahan yang terjadi semudah membalikkan telapak tangan.

Indikator keberhasilan terapi tergantung dari tingkat konsentrasi anak. Biasanya, efektivitas terapi bisa dilihat dari rentang waktu konsentrasi anak, apakah sudah ada peningkatan waktu konsentrasi dari sebelum terapi dan sesudah menjalani terapi.

"Perilaku anak juga mestinya akan menunjukkan perubahan jika kemampuan konsentrasinya membaik. Misalnya, jika sebelumnya dia sering ketinggalan barang, maka menjadi tidak terlalu sering ketinggalan atau kehilangan barang lagi," pungkas Chika.


Gejala Gangguan Konsentrasi
* Anak tak kunjung memahami tugasnya.
* Tidak mampu memusatkan pikiran saat mengerjakan tugas.
* Tugas sekolah atau PR sering kali tidak selesai.
* Tugas selesai, tapi hasilnya tidak maksimal.
* Kesulitan duduk diam, atau sebaliknya, kerap melamun.
* Kerap lupa menaruh barang, atau banyak barang hilang atau tertinggal.
* Nilai akademis merosot.


Manfaat Fokus
* Anak dapat lebih mudah memahami pekerjaan.
* Dapat mengingat materi yang dipelajari.
* Informasi penting tidak akan terlupa.
* Lebih teliti dalam mengerjakan sesuatu.
* Dapat menyelesaikan tugas dengan waktu yang cepat dan hasil optimal.

Komentar

Paling Banyak Dibaca 👷👸👳👲👱👮👴👵👷

Selama Bulan Puasa Penghasilan Pengemis Ini Rp. 90 Juta

Ts'ai Lun, Penemu Kertas

Mengenal Komunitas Rajut Kejut

Mengenal Komunitas Yoga Gembira

Angka Penderita Diabetes di Indonesia Semakin Meningkat