Sebuah Tindakan yang Sangat Bapak Benci Selain Perceraian
Kususuri jalan menuju rumah tempatku dilahirkan dan dibesarkan di daerah pinggiran kota. Setelah beberapa menit, akhirnya aku sampai juga di rumah masa kecilku.
Rumah bercat hijau itu adalah rumah yang selalu mampu menenteramkanku sedari kecil, meski tanpa asuhan seorang ibu yang sudah meninggal sejak aku baru dilahirkan.
Di rumah itu, hanya ada bapak yang selalu menjaga dan merawatku sepenuh cinta, tanpa mau menikah lagi. Bagaikan kesetiaannya menjaga pohon-pohon dan tanaman miliknya di rumah seluas 1.000-an meter, kesetiaan bapak terhadap ibu tiada duanya. Kokoh bagaikan sebatang pohon.
Bahkan ketika mas Toto kudapati tengah mengantarkan seorang wanita bertubuh langsing, berkulit putih, dan berambut panjang hitam legam ke stasiun kereta menuju Bandung, bapak menguatkanku hingga nembuatku rela memaafkan mas Toto yang menangis penuh penyesalan di malam itu.
"Nduk, setiap orang harus diberikan kesempatan kedua untuk berubah, karena manusia tidak ada yang sempurna, termasuk suamimu. Jangan gegabah mengambil keputusan bila akhirnya kau menyesalinya," nasihat bapak kepadaku.
"Ingatlah, pernikahan itu ibarat pohon yang harus dirawat dan dijaga agar bisa tumbuh sempurna. Jadi, jagalah pernikahanmu, Nduk," lanjut bapak.
Aku hanya mengangguk mendengar wejangan bapak. Meski di hati masih terasa sakit, aku setuju dengan saran bapak. Tak ada salahnya memberi kesempatan kedua bagi mas Toto untuk berubah.
Terbukti setelah perselingkuhan itu, mas Toto bertambah sayang dan perhatian padaku. Entah karena rasa bersalah atau karena takut kugugat cerai, karena aku tak ingin dimadu dengan wanita mana pun.
Meski, menurut orang-orang, lelaki diciptakan dengan banyak cinta, tetapi aku ingin mas Toto hanya memiliki satu cinta untuk kusatukan dengan cintaku dalam membangun pohon pernikahan kami.
Rumah bapak mudah dikenali, karena ada pohon ketapang yang tinggi dan rimbun di depan rumah. Ada juga pohon serupa beringin, walau kecil.
Bahkan, kalau masih ada tanah lebih, bapak ingin menanam pohon trembesi sebagai pohon utama, yang tingginya bisa mencapai 25 meter. Tapi pohon yang juga dikenal dengan nama ki hujan tersebut sangat banyak membutuhkan air. Karena itu, pohon ini bisa mengancam keberadaan sumber air tanah, apalagi di daerah dangkal, seperti perumahan
Meskipun rumah mereka tidak terletak di daerah perumahan, tapi bapak tidak ingin warga sekitar kekurangan air. Sebagai gantinya, bapak hanya ingin menanam pohon kenari ataupun asam jawa, yang memang mempunyai perakaran dalam dengan tajuk yang tidak terlalu lebar, namun cukup memberi keteduhan tanpa merusak badan jalan.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam. Tumben, tidak bersama Toto?" tanya bapak heran.
"Yati ingin menggugat cerai mas Toto, pak," jawabku spontan sambil mendudukkan pantat di kursi rotan.
"Lho, lho, kok datang tiba-tiba mau ngomong cerai. Apa sudah kamu pikirkan mateng-mateng, Nduk? Jangan gegabah mengambil keputusan soal perceraian. Meskipun dihalalkan, namun sangat dibenci oleh Tuhan," jawab bapak sambil membelai rambut hitam sebahuku.
"Yati sudah tidak tahan lagi, pak," ucapku sambil menahan air mata yang hendak mendesak keluar.
"Sabar, sabar, Nduk. Tenangkan dulu dirimu. Sebenarnya, masalahnya apa toh, sampai kamu ingin menggugat cerai suamimu?" bapak mencoba menenangkan emosiku yang memuncak ke ubun-ubun. Ia menyodorkan segelas infused water kepadaku.
Aku masih enggan menjawab, dan lebih memilih menatap warna-warni bunga yang tumbuh di halaman samping rumah.
Tak bisakah mas Toto mencoba untuk setia seperti pohon? Pohon yang selalu tetap berdiri di tempatnya, dan setia dalam memberi kebaikan pada manusia dan kehidupan, melalui lewat udara segar berupa oksigen dan menabung air untuk kehidupan di dalam akarnya.
Tak ada jalan lain, aku harus segera angkat kaki dari rumah karena sudah tidak tahan. Aku meninggalkan mas Toto yang duduk tepekur seorang diri. Aku biarkan suamiku itu untuk memikirkan ulang rencana tak manusiawinya itu.
Perkenalan kami terjadi saat sama-sama bergabung dalam Laskar Hijau, sebuah komunitas yang memiliki misi mengajak manusia untuk kembali merawat Bumi dengan menjaga pohon-pohon tetap berseri.
"Saya Toto. Lengkapnya, Toto Suryono Prayogo," seorang pria berpenampilan modis tersenyum ramah padaku. Dari pakaian dan penampilannya yang berkelas, kelihatan dia berasal dari keluarga mapan dan berkedudukan.
"Yati. Lengkapnya, Trembesiyati," balasku sambil tersenyum malu-malu.
Toto terbelalak kaget sambil tersenyum geli. "Namamu unik sekali, mirip nama pohon kyai-nya hujan."
"Memang. Trembesiyati adalah nama pemberian bapakku yang sangat senang merawat pohon. Tak heran bila bapakku dijuluki Bapaknya Pohon oleh warga."
"Oh ya? aku jadi penasaran ingin bertemu bapakmu. Boleh kapan-kapan aku main ke rumah?" tanya Toto sambil kembali melempar senyum.
Aku tersanjung mendengar permintaan lelaki yang penampilannya mirip artis Korea itu. Tubuhnya tinggi dan terlihat sempurna dengan warna kulit seputih beras. Matanya bulat hitam dan alisnya tebal dan indah.
Tanpa menunggu, aku pun mengangguk sambil memasang senyum semanis mungkin.
Tak ingin lebih lama lagi larut dalam kenangan yang menguras air mata, aku beranjak ke kebun belakang dan memanjat pohon jambu biji kristal.
Jambu biji kristal manis adalah kesukaanku karena tak banyak bijinya. Bibitnya sendiri bapak dapatkan saat pergi ke Mekarsari. Aku memetiknya dan memakannya dengan pikiran yang menerawang. Bapak hanya tersenyum menatapku dari balik jendela dapur.
Mungkin kali ini bapak akan mempertimbangkannya, bila tahu alasan sebenarnya, batinku. Akhirnya, aku turun dari pohon jambu dan mendekati bapak yang datang menyusul ke kebun.
"Begitu beratkah kesalahan suamimu? Seberapa berat, Nduk, hingga kau tak bisa mentolerirnya lagi?"
"Sangat berat pak, karena ini menyangkut keselamatan manusia, paru-paru dunia, dan pohon!"
"Maksudmu apa, Nduk?"
"Mas Toto ikut berinvestasi dalam rencana pembabatan hutan tropis demi mendapatkan uang yang cukup besar, pak," tegasku.
Bapak tak berkata-kata lagi, malah kembali asyik merawat pohon-pohonnya. Ia pasti terkejut mendengar perkataanku tentang mas Toto dan orang-orangnya yang ingin membakar hutan tropis secara paksa, demi segera menanam sawit berhektar-hektar luasnya!
Sebuah tindakan perusakan pohon yang sangat bapak benci, selain tindakan perceraian.
Sebulan kemudian, aku dan bapak menyaksikan berita di televisi tentang asap yang banyak mencemari udara hingga membuat jalanan gelap.
Lalu lintas terhenti karena jalanan tak bisa dilalui akibat gelap terkena asap. Belum lagi berita banyaknya warga yang sesak napas dan asma akibat udara yang tercemar polusi asap hasil pembakaran lahan besar-besaran hingga ke hutan tropis, yang sesungguhnya sangat dilarang pemerintah.
Tampak banyak warga yang harus memakai masker di jalanan. Ditambah lagi, warga mulai mengalami kesulitan air tawar, karena hutan adalah sumber air tawar bagi masyarakat.
"Benar-benar keterlaluan!" keluh bapak sambil mengipas-ngipas tubuhnya, akibat suhu udara yang kian panas.
Kini keteduhan, ketenangan, dan keademan kota tempat aku dilahirkan sudah tidak lagi berfungsi sebagai paru-paru bagi warga setempat. Bahkan... mungkin juga dunia.
Komentar