Manfaat Mumi Bagi Kedokteran Modern



Puluhan mumi yang ditemukan di pemakaman bawah tanah gereja di Eropa Timur memberi pelajaran menarik tentang kesehatan dan penyakit di masa lampau.

Selama berabad-abad, ratusan jasad manusia terkubur di ruang bawah tanah Dominican Church of the Holy Spiritual, sebuah gereja di Vilnius, Lithuania.

Ketika para peneliti mulai menggali jasad-jasad tersebut lima tahun lalu, mereka menemukan 23 spesimen yang tampak berbeda. Tak seperti jasad lain yang tinggal kerangka, pada spesimen ini, daging masih menempel di tulang, sejumlah organ masih utuh di tubuh, bahkan pakaian masih membungkus kulit!

"Ini adalah mumi yang diawetkan dengan sangat baik sehingga nyaris tampak seperti masih hidup," ungkap Dario Piombino-Mascali, pakar antropologi dari Italia yang telah mempelajari mumi sejak 2011.

Sejak itu, para peneliti sibuk menginvestigasi rahasia keawetan para mumi Vilnius. Mereka ternyata mengungkap wawasan tentang gaya hidup manusia abad ke-17 dan ragam penyakit yang menyerang.

Baru-baru ini, Piombino-Mascali dan para koleganya berhasil mengekstrak jejak virus cacar dari salah satu mumi tersebut. Dari situ, mereka mendapat informasi baru tentang asal muasal epidemi mematikan yang menyapu habis 300 juta manusia di abad ke-20.

Sebelumnya, para peneliti tersebut berhasil menemukan jejak penyakit lain: kelainan tulang, osteoarthritis, dan parasit dalam pencernaan. Ternyata, tim Piombino-Mascali bukan satu-satunya kelompok peneliti yang menemukan hal baru dari mumi yang sangat tua.

Penelitian mumi di berbagai penjuru dunia juga telah memberikan perspektif sejarah dari penyebaran epidemi dan kerusakan yang ditimbulkan, dari serangan jantung di Amerika sebelum era Columbus sampai berbagai jenis TBC di Eropa abad ke-19.

Apa manfaat mempelajari peta persebaran penyakit dari masa lampau? Para peneliti bisa selangkah lebih maju dalam menghadang epidemi yang mungkin menyerang di masa depan.

"Kebanyakan kita belum menyadari bahwa para mumi bisa memberi manfaat untuk ilmu kedokteran modern," ujar Frank Ruehli dari Swiss Mummy Project, University of Zurich, yang memiliki fokus penelitian pada organ internal mumi di Iran dan Mesir.

Mari kembali ke gereja berarsitektur Barok di Vilnius.

Tepat di altar tempat umat berdoa, terdapat tangga batu yang hanya bisa dilalui satu orang. Para peneliti menjuluki tangga itu: "portal menuju dunia lain."

Mereka yang memberanikan diri menuruni tangga itu akan tiba di labirin bawah tanah berisi ragam jasad dalam kondisi utuh, berkat suhu yang dingin dan ventilasi ruangan. Seluruh jasad di sana mengalami proses mumifikasi spontan.

Pada 1960-an, ilmuwan forensik Juozas Albinas Markulis menjadi salah satu orang pertama yang meneliti mumi ini. Ia penasaran: apakah mereka korban Perang Dunia II? Atau, jangan-jangan mereka berasal dari abad lampau, misalnya abad ke-17?

Bersama para mahasiswanya di Vilnius University, Markulis mencoba mengidentifikasi 500 jasad yang 200 diantaranya telah termumifikasi.

Namun, pada 1962, pihak pemerintah sempat memerintahkan situs itu diisolasi dan seluruh jasad disimpan di peti kaca tertutup. Mereka khawatir penelitian itu dapat memicu epidemi baru. Bahkan, mereka menjulukinya "Kamar Kematian".

Karena itu, para peneliti mulai mengekskavasi sejumlah mumi dari bawah tanah. Dari 200 mumi yang diteliti Markulis, hanya 23 yang masih awet. Jika dulu Markulis berupaya menyingkap identitas mumi, kini Piombino-Mascali dan para kolega berfokus pada gaya hidup.

Piombino-Mascali mengidentifikasi sejumlah jasad dengan gigi keropos dan penyakit gusi, juga arthritis dan kelainan tulang. Untuk mengetahui penyebab penyakit lebih lanjut, ia melakukan CT scan pada tujuh mumi yang paling awet.

Tim Piombino-Mascali juga mengirim sampel dari mumi bocah abad ke-17 pada kolega mereka di Kanada, yang kemudian mendapati sisa virus Variola penyebab cacar, penyakit yang pernah jadi momok paling menakutkan di dunia.

Dengan memeriksa sekuensi DNA virus itu, para peneliti berharap dapat melacak asal-usul epidemi maut tersebut. Apalagi, menurut Ana Duggan, pakar biologi dari McMaster University yang bermitra dengan Piombino-Mascali, temuan ini merupakan genome terlengkap dan tertua dari virus Variola. DNA tua tersebut dapat membantu para peneliti memetakan sejarah cacar. Catatan kuno dari Mesir, Cina, dan India membuktikan bahwa cacar telah menjangkiti manusia selama ribuan tahun.

Namun, saat membandingkan varian virus abad ke-17 dengan versi modern, tim ilmuwan menemukan kesamaan "moyang" dengan wabah cacar antara tahun 1530-1654. Dari sini terungkap bahwa varian cacar paling mematikan ternyata berkembang baru-baru ini, bukan sejauh perkiraan sebelumnya.

Karena itu, mumi di makam bawah tanah Lithuania menjadi salah satu temuan penting terbaru dalam dunia medis yang memanfaatkan analisis mumi untuk menunjukkan bagaimana penyakit telah menghubungkan manusia modern dengan nenek moyangnya.

Pada 2013, tim yang dipimpin Dr. Randall C. Thompson, kardiolog dari St. Luke's Mid America Heart Institute di Missouri melakukan CT scan pada 130 mumi dari Mesir kuno dan Peru sebelum Columbus datang. Di antaranya, ada juga sejumlah mumi Suku Indian dari Barat Daya Amerika dan Suku Unangan dari Kepulauan Aleutian.

Temuan mereka? Lebih dari sepertiga mumi mengalami pengapuran pada arteri yang bisa berujung pada penyakit jantung. Mumi yang terjangkit berasal dari berbagai wilayah dan berasal lebih dari 4.000 tahun lalu. Ini adalah peringatan bahwa penyakit jantung telah lama hadir, dan tak selalu akibat gaya hidup modern.

Dengan memanfaatkan metode pengukuran usia artefak di makam, para peneliti mendapati bahwa penyakit jantung koroner tertua dialami oleh Ahmose-Meritamun, puteri Mesir yang hidup pada 1550 SM dan meninggal di usia 40-an. Sementara itu, kasus sumbatan arteri tertua ditemukan pada satu mumi Mesir dari era 2000 SM.

Mark Pallen, profesor pemetaan genome mikroba dari University of Warwick, mendapati temuan serupa pada 2015 ketika sedang mempelajari TBC pada lebih dari 200 mumi yang ditemukan di makam bawah tanah di Hungaria.

Pallen dan timnya mengekstrak DNA bakteri TBC dari delapan paru-paru mumi yang berusia 200 tahun, dan menemukan fakta bahwa di masa lalu, seseorang bisa terkena beberapa varian TBC dalam hidupnya.

Teknik yang digunakan Pallen disebut sekuensi metagenomik, yang sebelumnya tak lazim diterapkan pada mumi. Metode itu membantu para peneliti untuk mendapatkan DNA mikroba secara langsung, tanpa perlu menumbuhkan bakteri di cawan petri.

Kembali ke Lithuania, Piombino-Mascali menegaskan bahwa TBC dan pengapuran arteri juga ditemukan di mumi-mumi Vilnius. Ini membuktikan bahwa masyarakat kelas atas di abad ke-18 bisa terkena gangguan kesehatan kronis, termasuk berbagai penyakit terkait malnutrisi.

Dan ini semua bisa kita ketahui dari para mumi.


Komentar

Paling Banyak Dibaca 👷👸👳👲👱👮👴👵👷

Selama Bulan Puasa Penghasilan Pengemis Ini Rp. 90 Juta

Ts'ai Lun, Penemu Kertas

Mengenal Komunitas Rajut Kejut

Mengenal Komunitas Yoga Gembira

Angka Penderita Diabetes di Indonesia Semakin Meningkat