Bentengi Si Kecil dari Difteri



Difteri sudah menjadi epidemi sejak abad ke-6. Mengapa kini penyakit infeksi mematikan ini muncul lagi?



Akibat difteri, tak sedikit anak Indonesia harus meregang nyawa, dan ratusan anak dirawat di rumah sakit. Sebaran penyakit infeksi ini yang merata di 28 provinsi membuat pemerintah harus mengumumkan status Kejadian Luar Biasa alias KLB.

Padahal, difteri bukan penyakit baru. Ia sudah ditemukan sejak abad ke-5, dan dikabarkan menjadi wabah epidemi di abad ke-6, seperti dilaporkan oleh Aetius dari Ameda, tokoh kedokteran Yunani. Seiring perkembangan sains dan penemuan vaksin, difteri pun mulai menghilang.

"Nah, saat masyarakat lengah karena menyangka penyakit ini sudah tidak ada, ia muncul kembali. Jika kita tidak waspada, terjadilah KLB difteri seperti belum lama terjadi," papar DR. Dr. Hindra Irawan Satari, Sp.A(K), staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM.



Konsultan penyakit tropik yang akrab disapa Dr. Hinki ini mengungkap, infeksi difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae. Bahan vaksin difteri dibuat dari toksoid bakteri tersebut, yang akan memicu tubuh untuk membentuk kekebalan terhadapnya.

Gejala khas penyakit difteri, selain demam, dalam 2-3 hari akan terbentuk pseudo-membran berwarna putih di tenggorokan dan tonsil (amandel). Lendir bisa menutup saluran napas sehingga napas sesak. Bila lendir terus turun ke saluran napas bawah, maka akan menimbulkan sakit berat, bahkan kematian.

Komplikasi terjadi akibat toksin yang dihasilkan bakteri difteri. Selama kuman masih ada, toksin akan terus dihasilkan. Akhirnya, akan menyerang jantung dan menyebabkan peradangan otot jantung. Risiko kematian sekitar 5-10 persen.

"Untuk menetralisir racun yang sudah beredar, diberikan antitoksin. Namun, bila toksin sudah menempel di jantung, kita hanya bisa menunggu tubuh menetralisir. Kalau tubuh gagal melakukannya, detak jantung bisa terganggu, dan kematian bisa terjadi," tandas Dr. Hinki.



Hal senada disampaikan DR. Dr. Soedjatmiko, Sp.A(K), M.Si., Sekretaris Satgas Imunisasi, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).

Menurutnya, penyakit difteri menyebabkan lapisan putih tebal di tenggorokan yang dapat menutup jalan napas, sehingga anak bisa meninggal. Racun kuman difteri juga dapat menyerang jantung sehingga menyebabkan kematian.

Dokter yang juga staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM ini menegaskan, umumnya yang sakit difteri atau meninggal adalah anak yang tidak diimunisasi, atau imunisasi antidifterinya tidak lengkap.

Lengkap atau tidak lengkap, untuk daerah KLB difteri, semua anak umur 1-19 tahun harus ditambah 3 kali imunisasi difteri lagi. Bulan ini, 1 bulan kemudian, dan 6 bulan yang akan datang.

Menurut Dr. Hinki, cakupan vaksin DPT secara nasional memang tinggi. Namun, bila dilihat per kabupaten, per kecamatan, dan per kelurahan, ada "kantong-kantong" yang cakupannya sangat rendah. Inilah yang menyebabkan difteri kembali merebak.

Ia menegaskan, menanggulangi difteri tidak cukup dengan imunisasi dasar. Kekebalan ada masanya, sehingga harus diulang. Setelah 3 dosis imunisasi dasar saat bayi, perlu dilakukan di usia 18-24 bulan, 5 tahun, dan 10 tahun. Setelah itu, idealnya vaksin dilakukan lagi setiap tahun.



Vaksin difteri sudah digunakan di Amerika Serikat sejak 1890. Jadi, vaksin bukan barang baru. Kenapa sekarang kita seakan takut divaksin?

Menurut DR. Dr. Aman B. Pulungan, SpA(K), Ketua Pengurus Pusat IDAI, permasalahan ini muncul disebabkan cakupan imunisasi yang belum merata dan sesuai target. Akibatnya, masih ada pendapat yang keliru dalam masyarakat mengenai imunisasi, serta kekhawatiran masyarakat terkait efektivitas dan keamanan vaksin bagi anak.

Padahal, tegas Dr. Soedjatmiko, imunisasi vaksin DPT, DT, dan Td, rutin dilakukan di berbagai negara di dunia, karena sudah terbukti bermanfaat dan aman. Ini pun disimpulkan oleh penelitian para pakar di lembaga resmi di banyak negara.

Karena itulah, kampanye soal vaksin harus diulang-ulang terus. "Kita terus konsisten. Jangan malas dan bosan, karena itulah yang ditunggu oleh kelompok antivaksin," tukas Dr. Hinki.

Jika masih ragu, berdiskusilah dengan dokter spesialis anak atau petugas kesehatan terdekat. Janganlah menghindar dari program imunisasi anak sekolah. Perlindungan terhadap penyakit menular harus terus diperbarui tiap jangka waktu tertentu, sehingga anak sekolah perlu mendapat imunisasi ulangan.



Berbagai asosiasi dokter di Indonesia juga menekankan agar seluruh masyarakat, terutama orangtua, memastikan anaknya mendapat imunisasi tambahan dan melengkapi status imunisasi semua anak di luar wilayah ORI.

Outbreak Response Immunization (ORI) merupakan upaya tambahan untuk menciptakan kekebalan komunitas agar masyarakat terutama anak-anak di daerah ORI terhindar dari penyakit difteri yang berbahaya dan sangat menular ini.

Syarat tercapainya kekebalan komunitas adalah cakupan imunisasi di suatu daerah harus 100 persen. Ini berarti, semua anak di wilayah ORI mendapat imunisasi tambahan, dan status imunisasi semua anak di luar wilayah ORI lengkap sesuai usia.

"IDAI menyampaikan bahwa penyakit-penyakit menular yang tadinya sudah hampir menghilang kini merebak lagi. Karena itu, program imunisasi mesti digalakkan karena sudah terbukti manfaatnya. Semua pihak juga harus mendukung pelaksanaan imunisasi dan menghentikan aktivitas antivaksin," tegas Dr. Aman.



Bagaimana dengan para orangtua? Apakah mereka sudah bebas dari difteri?

Jika orang dewasa tersebut sering bermain atau berhadapan dengan pasien difteri, maka tenggorokannya harus diperiksa, diberi antibiotik dan divaksinasi antidifteri.

Imunisasi ulangan pada orang dewasa untuk mencegah DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) penting dilakukan setiap 10 tahun. Terutama, kelompok risiko tinggi kontak dengan anak yang terinfeksi difteri, seperti petugas poliklinik, petugas IGD, guru atau pendamping anak.


Wabah yang Bisa Dicegah
Bukan hanya di Indonesia, difteri telah menyerang anak-anak di Venezuela (500 kasus), Yemen (300 kasus), dan Bangladesh (2.000 kasus) sejak 2017. Wabah ini, tegas Dr. Michael Edelstein, konsultan peneliti dari Centre on Global Health Security, mestinya bisa dicegah. Amerika Serikat menjadi contoh nyata. Sebelum vaksin difteri diperkenalkan, ada 20.000 kasus difteri setiap tahun. Namun, imunisasi dijalankan, kurang dari 5 kasus saja yang dilaporkan dalam 10 tahun terakhir.


Mengapa Enggan Vaksin?
Berikut alasan umum yang ditemukan Riset Kesehatan Dasar 2013:
- Keluarga tidak mengizinkan.
- Takut anak menjadi panas/demam.
- Anak sering sakit sehingga tidak dibawa ke tempat imunisasi.
- Tidak tahu lokasi imunisasi, tempat imunisasi jauh, atau sibuk/repot.


Cerdas Waspadai Difteri

* Minta anak membuka mulut dan menjulurkan lidah. Kemudian, suruh dia mengucap "Aaaa" beberapa kali. Lihatlah, apakah ada lapisan putih tebal di tenggorokan dan lubang hidung?

* Kalau di tenggorokan dan hidung ada lapisan putih tebal, segera bawa anak ke dokter atau rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut. Jika dicurigai difteri, anak harus segera dirawat untuk diobati dan diperiksa ulang.

* Karena kuman difteri mudah menyebar ketika pasien bicara, batuk atau bersin, keluarga atau teman yang sering bermain dengan pasien difteri perlu segera diperiksa tenggorokannya, serta diobati dengan antibiotik dan divaksinasi difteri.

* Sebaiknya, pasien difteri tidak usah dikunjungi banyak orang, cukup orangtua atau keluarga terdekat, karena yang mengunjungi bisa tertular atau menyebarkan.

* Periksa catatan imunisasi DPT anak dan perhatikan kelengkapannya.


Komentar

Paling Banyak Dibaca 👷👸👳👲👱👮👴👵👷

Cemplon, Lenthok, dan Cothot Makanan Untuk Cemilan di Rumah

Yo Ko, Kisah Cinta The Return of The Condor Heroes

Ts'ai Lun, Penemu Kertas

Setelah Luka, Timbullah Keloid

Aurelien Francis Brule ke Hutan demi Primata