Ayo Pahami Pendidikan Karakter, Agar Ia Tak Sekedar Jargon
Belum lama ini, Presiden RI mengeluarkan peraturan yang mencanangkan "Penguatan Pendidikan Karakter pada Anak". Mari pahami pendidikan karakter, agar ia bukan sekadar jargon.
Sering kita mendengar tindakan negatif bahkan kriminal dilakukan pelajar atau mahasiswa.
Lantas, serta-merta kita menuding pihak institusi pendidikan yang lalai dalam mendidik dan mengajarkan karakter yang baik pada peserta didik. Tentu, saling menyalahkan merupakan bentuk lain dari keburukan karakter individu itu sendiri.
Menyikapi fenomena ini, Esti Wungsu, S.Psi., M.Ed., Psikolog, staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, berpendapat bahwa pendidikan karakter menjadi marak karena banyaknya kasus yang terkait dengan kasus perundungan.
Menurut Esti, perundungan yang terjadi baik pada tingkat SD, SMP maupun SMA tersebut pada dasarnya adalah kurangnya sikap welas asih dan saling menghargai di antara teman sendiri.
"Selain itu, kemajuan di dunia modern juga menjadi salah satu pemicu maraknya pendidikan karakter. Kemudahan yang ada di zaman modern tidak sepenuhnya berakibat positif," papar Esti.
Kondisi tersebut membuat anak tidak selalu harus bekerja keras untuk mendapatkan apa yang ingin diraihnya, sehingga daya juang menjadi lemah dan anak mudah menyerah pada kesulitan yang ada.
Esti menegaskan bahwa timbulnya pendidikan karakter sejatinya didorong oleh kebutuhan dan pemikiran akan kehidupan yang lebih baik, dengan masyarakat yang hidup harmonis satu sama lain.
"Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk mengembangkan sifat dan sikap yang luhur pada diri individu sebagai bekal dalam menjalani kehidupan sehari-hari baik dalam kerangka kehidupan bermasyarakat maupun berbangsa," tegasnya.
Pada penerapannya, aspek yang dikembangkan berbeda-beda. Namun, semua mencerminkan nilai-nilai luhur, seperti jujur, bertanggungjawab, percaya diri, welas asih, peduli pada orang lain, dan berani membela kebenaran.
Diah Ningrum, M.Ed., Direktur Improve Education Consulting mengutip Thomas Lickona yang memaparkan tiga unsur pokok karakter, yakni mengetahui kebaikan, mencintai kebaikan, dan melakukan kebaikan.
"Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu sering kali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik. Maka, pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing perilaku manusia menuju standar-standar baku," jelas Diah.
Kedua pakar ini sepakat akan pentingnya pendidikan karakter sedini mungkin.
Mengapa? Keberhasilan suatu bangsa dalam memperoleh tujuan tidak hanya ditentukan oleh melimpah-ruahnya sumber daya alam, tetapi sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia, tegas Diah.
"Bahkan, ada yang mengatakan bahwa bangsa yang besar dapat dilihat dari kualitas/karakter manusianya sendiri. Apabila rusak karakter manusianya, maka runtuhlah bangsa tersebut," kata Diah.
"Pendidikan karakter penting karena menjadi panduan anak dalam menjalani hidupnya kelak, baik sebagai individu yang memiliki kebutuhan dan keinginan maupun sebagai anggota masyarakat yang hidup di antara orang lain, yang juga memiliki keinginan dan kebutuhan yang bisa jadi sama atau berbeda," tandas Diah.
Karena itu, Diah menilai bahwa tujuan dari pendidikan karakter adalah menciptakan kehidupan yang harmonis bagi individu sebagai anggota masyarakat.
Apa saja aspek yang perlu diajarkan dalam pendidikan karakter?
Menurut Diah, ada tiga hal penting. Dua yang pertama adalah moral knowing dan moral loving atau moral feeling - yang merupakan penguatan aspek emosi untuk menjadi manusia berkarakter. Ketiga adalah moral doing/acting yaitu apa yang dilakukan memberikan manfaat bukan hanya pada diri sendiri, tetapi juga pada orang lain.
Sementara itu, Esti memaparkan bahwa pada dasarnya pendidikan karakter berupaya mengajarkan aspek-aspek yang bernilai luhur. Aspek mendasar itu adalah saling menghargai dan tanggungjawab, seperti ditegaskan Thomas Lickona dalam Educating for Character.
"Dalam respect juga dapat ditemukan aspek yang lain, seperti peduli, kasih sayang, tolong menolong. Dalam aspek responsibilty, dapat ditemukan aspek jujur, bekerja keras, dan percaya diri," papar Esti.
Yang pasti, pendidikan karakter harus dilakukan dalam tahap-tahap perkembangan anak sejak usia dini sampai dewasa. Sumbernya dari orangtua, guru, dan sekolah.
"Orangtua mendapat porsi besar karena anak berkembang sebagaimana perlakuan dan pembiasaan orangtua terhadap dirinya," tegas Diah.
"Anak belajar lebih banyak dari melihat dan meniru apa yang ditampilkan orangtua, yang menjadi role model dalam penanaman nilai-nilai karakter pada anak," Diah mengingatkan.
Menurutnya, orangtua mungkin sudah menanamkan pendidikan karakter dalam pola asuh, hanya saja mungkin berbeda pada tahap pelaksanaannya. Ada orangtua yang sangat menekankan pada pembentukan karakter, sehingga memberikan contoh yang baik pada anak dan berkomitmen dalam melaksanakannya.
Sebaliknya, ada orangtua yang tidak begitu peduli pada pembentukan karakter anak, sehingga pola asuhnya lebih memanjakan dan menuruti keinginan anak, tanpa mengajari pendidikan karakter.
Esti mengungkap pendapat serupa. Orangtua, menurutnya, berfungsi sebagai pembentuk fondasi bagi pembentukan dua aspek utama pendidikan karakter, yaitu menghargai dan tanggungjawab, mengingat orangtua adalah lingkungan terdekat anak
"Ketika orangtua mulai mengajarkan anaknya berperilaku, pastinya orangtua juga menurunkan nilai-nilai luhur. Misalnya, orangtua meminta anak untuk berkata jujur pada apa yang telah diperbuatnya," tandasnya.
Bagaimana dengan sekolah?
Menurut Esti, sekolah menjadi tempat individu belajar bagaimana cara menghargai orang, menghargai kerja keras, sambil bertanggungjawab pada apa yang dilakukannya. Sekolah menjadi tempat anak berproses dalam memasukkan aspek respect dan responsibilty.
"Di sekolah, kurikulum dirancang dengan memasukkan kedua aspek ini dalam proses pembelajaran," saran Esti. "Guru bertindak sebagai role model bagi anak didik. Situasi kelas juga dirancang dengan menggunakan kedua aspek tersebut sebagai panduan dalam bertingkah laku."
"Pada dasarnya, ketika kita mengajarkan nilai-nilai luhur dari suatu perilaku, itu adalah pendidikan karakter. Pada disiplin juga ada nilai luhur, seperti taat pada aturan, kerja keras, demikian juga kejujuran dan sopan santun," imbuhnya.
Itu pula yang diharapkan sebagai output dari pendidikan karakter: munculnya perilaku dan sifat yang mencerminkan keluhuran individu.
Kedua psikolog ini tak menampik besarnya tantangan dalam menanamkan pendidikan karakter saat ini.
"Tantangan itu antara lain pola asuh yang keliru sehingga lalai menanamkan karakter pada anak-anaknya. Selain itu, ada sistem pendidikan yang kurang menekankan pada pembentukan karakter, tetapi lebih menekankan pada pengembangan intelektual," tandas Diah.
"Budaya instan dan terburu-buru juga dapat mengancam sifat dan sikap kerja keras dari individu. Begitu pula kompetisi yang tinggi, yang menjadi salah satu hal yang dapat mengancam sifat dan perilaku kejujuran," Esti menambahkan.
Sejatinya, pendidikan karakter adalah mengajarkan individu untuk memiliki sifat luhur yang menjadikan manusia sebagai. Karena itu, untuk memberikan pendidikan karakter, tidak diperlukan situasi atau kondisi khusus. Semua orangtua bisa melakukannya, dimulai dari rumah.
Perjalanan Pendidikan Karakter
Sesungguhnya, pendidikan karakter sudah ada sejak dahulu kala. Pada zaman Yahudi kuno, para filsuf mulai memikirkan bagaimana membentuk individu yang dapat mendukung kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di Timur, banyak dilahirkan ajaran yang mementingkan pada pengembangan karakter, seperti Konfusionisme, Hindu, dan Buddha. Tentu, pendidikan karakter juga diturunkan melalui ajaran agama.
Kemudian, di era modern, muncul sejumlah pemikir yang menegaskan pentingnya pendidikan karakter, seperti F.W. Foerster dari Jerman dan Thomas Lickona dari AS, yang menulis The Return of Character Education, buku yang menyadarkan dunia bahwa pendidikan karakter adalah keharusan.
Bagaimana dengan di Indonesia? Kita punya Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional yang juga mengawali pendidikan karakter di Nusantara.
Komentar