Wayang Mengandung Nilai-nilai Pandangan Hidup
Kuncaraning bangsa gumantung ono kahuluring budaya. Nukilan pepatah Jawa itu nyata amat dekat dengan makna strategis "budaya sebagai identitas dan jati diri bangsa". Wayang, adalah salah satu puncak seni budaya bangsa yang boleh dikata paling menonjol. Karena itu, kita tak boleh jauh dengan keberadaannya.
Sempatkan berkunjung ke museum wayang di kota Anda. Jika di Jakarta, museum wayang berada di kawasan kota tua, tempat di mana ratusan orang dari berbagai penjuru sering kali suka ria menghabiskan waktu luang. Namun meski setiap hari kawasan itu ramai, pengunjung tak jarang menomorduakan keberadaan Museum Wayang yang bahkan telah diketahui ada di dekatnya.
Seperti halnya berkunjung ke Borobudur, jika tak mau mengenal dan berusaha mengerti makna serta nilai yang terkandung padanya, melihat Borobudur tak ubahnya melihat batu. Begitu juga dengan keberadaan Museum Wayang. Kita akan melihat ribuan boneka-boneka mati belaka, bila tak juga mau memahami apa itu wayang.
Wayang lebih dari sekadar shadow puppet atau shadow play. Dia gambaran lakon peri kehidupan manusia dengan segala masalahnya, yang menyimpan nilai-nilai pandangan hidup dalam mengatasi segala tantangan dan kesulitannya. Jadi selain nilai moral dan estetika, wayang juga mengandung nilai-nilai pandangan hidup.
Jika tak pernah atau sempat melihat pertunjukkannya, setidaknya berusahalah mengenalinya dari Museum Wayang. Ada sejumlah 6.500 koleksi wayang tersimpan di Museum Wayang Jakarta. Sekitar 217 di antaranya adalah boneka non cerita wayang, atau disebut golek, yang berasal dari berbagai negara.
Dari koleksi bermacam jenis wayang dari berbagai daerah, kita setidaknya dapat mengenal berbagai karakter, sikap, atau perilaku lakon-lakonnya. Seperti pada wayang kulit, wayang golek, wayang suket, wayang klithik, bahkan patung wayang, topeng, serta lukisan-lukisan wayang.
Mengamati wayang golek Jawa Barat, kita antara lain dapat mengenal Wayang Golek Bogor, Wayang Golek Elung dari Bandung berbahan kayu cendana buatan tahun 1960, Wayang Golek Menak, Catur, Cepak, Wayang Golek Gundala-gundala, bahkan wayang golek pengkaryaan terbaru yaitu Golek Lenong Betawi yang diciptakan seniman Tizar Purbaya tahun 2001.
Selain golek, pastinya ada pula berbagai macam wayang kulit. Tidak hanya gagrak Yogyakarta atau Solo saja, tapi di antara koleksi-koleksi itu terpajang pula Wayang Kulit Purwa Palembang, Wayang Kulit Purwa Banjar Kalimantan Selatan, Wayang Kulit Cirebon, Mojokerto, Bali, Sasak dari Lombok karya Amak Rahimah tahun 1925, Sawahlunto dari Padang-Sumatera Barat tahun 1935, atau juga Wayang Kulit Deli Serdang dari Sumatera Utara.
Dari ratusan koleksi wayang kulit, karakter masing-masing kentara dari bentuknya serta perbedaan tatah sungging atau ukiran-ukirannya. Dan dari itu juga, paling tidak kita dapat memahami perbedaan budaya setiap daerah. Belum lagi wayang kulit dari negara tetangga, seperti Malaysia, Vietnam, Kamboja, Thailand, bahkan Suriname.
Terpajang pula di etalase Museum Wayang Jakarta, bermacam boneka dari Kanton, India, Rusia, Inggris, Amerika, seperti boneka Punch, Boneka Judy, juga Boneka Marionet. Sedangkan koleksi jenis boneka dari Indonesia adalah serangkaian karakter dari film anak-anak tahun 1980-an, Si Unyil.
Menurut seorang pemandu Museum Wayang di Kota Tua, Jakarta, ada satu koleksi wayang tertua yang dianggap masterpiece. Jenis wayang kulit yang dibuat menggunakan kulit kerbau pilihan pada tahun 1870 oleh Ki Guna Kerti dan kawan-kawannya, merupakan prakarya seorang Tionghoa bernama Babah Palim dari Muntilan, Jawa Tengah.
Pewarnaannya menggunakan bahan-bahan tradisional, seperti bubuk tulang sapi atau kerbau untuk warna putih, akar-akar pohon atau kulit pohon, daun, serta biji-bijian untuk warna-warna lainnya. Wayang kulit gagrak Yogyakarta ini dinamakan Kyai Intan, sebab ditaburi intan atau yakut agar mempunyai nilai tinggi. Sayangnya, Kyai Intan disimpan di tempat khusus dan tidak bisa dilihat pengunjung.
Itulah setidaknya koleksi wayang yang terdapat di Museum Wayang Jakarta. Beruntung Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin menggagas berdirinya museum ini dan meresmikannya pada 13 Agustus 1975, sebab ternyata amat berguna bagi generasi-generasi muda selanjutnya. Selain mengenal gagrak wayang, generasi muda pun sejatinya dapat memahami wewayangipun urip, bayang-bayang atau cerminan kehidupan dari setiap koleksinya.
Gedung Museum Wayang Jakarta mulanya bernama De Oude Hollandsche Kerk ("Gereja Lama Belanda") dan dibangun pertama kali tahun 1640. Tahun 1732 diperbaiki dan berganti nama De Nieuwe Hollandsche Kerk (Gereja Baru Belanda). Bangunan ini sempat hancur akibat gempa tahun 1808.
Lalu di atas bekas reruntuhan inilah dibangun gedung baru. Meskipun telah dipugar beberapa bagian gereja lama dan baru masih tampak terlihat dalam bangunan ini. Di bagian gereja tua terdapat makam Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen.
Komentar