Ras Kaukasian Memiliki Risiko Lebih Tinggi Terkena Melanoma
Belum banyak yang memahami melanoma. Padahal, sebagai warga tropis, kita perlu tahu bahaya kanker yang dipicu paparan sinar matahari ini.
Menurut data WHO, sekitar 132 ribu kasus melanoma muncul setiap tahun. British Association Dermatologist melansir, 77 persen orang tidak mengenali gejala kanker kulit bersifat ganas ini.
Bagaimana dengan Indonesia? Di negara kita, prevalensi kanker kulit memang relatif rendah jika dibanding jenis kanker lain. Data GLOBOCAN 2008 yang dipublikasi pada Desember 2010 menyebutkan estimasi angka kasus kanker kulit di Indonesia masih di bawah 5.000 kasus.
Angka kejadian yang rendah ini menjadi salah satu alasan kita jarang membicarakan kanker kulit. Alhasil, masyarakat kurang teredukasi. Ini membuat kasus kanker kulit yang ditemukan sudah dalam stadium lanjut hingga sulit disembuhkan.
Radiasi ultraviolet, terutama UV B dan C, adalah penyebab utama kanker kulit. Apalagi, dengan kerusakan lingkungan seperti kebocoran lapisan ozon yang semakin riil terjadi, membuat kanker kulit semakin dekat di depan mata.
Di antara beberapa jenis kanker kulit, melanoma maligna atau sering disebut melanoma saja adalah jenis paling menakutkan.
Saat ini, insiden melanoma cukup tinggi pada ras Kaukasian yang memiliki kulit putih, rambut merah/terang, dan mata biru. Mereka memiliki risiko lebih tinggi karena jumlah sel melanosit mereka lebih sedikit dibandingkan mereka dengan kulit berwarna.
Di Indonesia, melanoma bukan kanker kulit yang sering dijumpai. Data RS Kanker Dharmais mengungkap ada 119 kasus sejak 2005. Namun, edukasi dan pengetahuan masyarakat yang kurang membuat kasus terdiagnosis pada stadium lanjut, saat sudah menyebar ke organ lain.
Menurut DR. Dr. Aida Sofiati Dachlan Hoemardani Sp.KK(K) dari RS Kanker Dharmais, melanoma adalah sel kanker yang menyerang sel melanosit, yaitu sel pemberi warna kulit cokelat atau kehitaman.
"Penyakit ini termasuk jenis kanker kulit paling ganas karena sangat mudah menyebar ke organ tubuh lain. Semakin dalam lokasi melanoma, semakin mudah pula ia menyebar," jelas staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI/RSCM ini.
Melanoma bisa terjadi di bagian kulit mana pun. Pada pria kebanyakan di badan, dan pada wanita, di tungkai bawah. Pada orang dengan kulit berwarna, sebagian besar melanoma dimulai di telapak kaki. Penyebabnya lebih karena ada trauma, bukan sinar UV.
Dr. Aida menjelaskan bahwa melanoma stadium 1 dan 2 masih bisa diobati, tetapi jika sudah masuk stadium 3 dan 4, maka risiko kematian akan sangat tinggi. Kematian lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Lebih rinci Dr. Aida menjelaskan, paparan sinar UV secara terus-menerus menjadi faktor penyebab dan faktor risiko melanoma, begitu pula paparan sinar matahari jangka panjang di masa kanak-kanak dan melakukan tanning (menghitamkan kulit).
Menurut Dr. Aida, cara mudah mendeteksi dini melanoma adalah dengan mengenali tahi lalat di tubuh - 30 persen kanker kulit dikenali dari tahi lalat. Karena itu, tidak ada salahnya melakukan SAKURI, atau Periksa Kulit Sendiri.
Caranya? Berdirilah di cermin setinggi badan, dan amati kulit sepanjang badan. Untuk bagian belakang, manfaatkan cermin kecil, dan jangan lewatkan sisi kanan dan kiri badan. Jangan lupa periksa juga kulit kepala dan telapak kaki.
Bagaimana kemajuan terapi melanoma saat ini?
Dr. Suria Nataatmaja selaku Medical Director MSD Indonesia menjelaskan bahwa jika dulu pasien melanoma diterapi dengan bedah dan kemoterapi, kini ini ada terapi terbaru yang menghasilkan respons sangat baik, yakni imunoterapi.
"Imunoterapi anti PD-L 1 dapat digunakan untuk mengobati melanoma sebagai pilihan selain radioterapi dan kemoterapi," jelas Dr. Suria. "Saat ini, anti PD-1 merupakan satu-satunya imunoterapi yang sudah masuk ke Indonesia, dan telah mendapat izin BPOM pada 2017 untuk terapi kanker paru dan melanoma."
Kisah sukses terbaru adalah Jimmy Carter, mantan presiden Amerika Serikat. Pria berusia 93 tahun ini dinyatakan telah "remisi" dari melanoma metastasis dengan imunoterapi anti PD-1.
Penelitian fase 1-3 terhadap terapi ini memang menunjukkan respons positif, baik kulit Kaukasian maupun Asia. Dibanding kemoterapi, pasien yang menjalani imunoterapi memiliki perbaikan atau kesempatan hidup empat kali lebih lama, dan rata-rata memiliki usia dua kali lebih panjang.
Lebih rinci Dr. Suria menjelaskan cara kerja imunoterapi anti PD-1, yakni dengan mengaktifkan sistem daya tahan tubuh pasien. Limfosit, salah satu sel imun tubuh secara alamiah akan menyerang benda asing yang mengancam kesehatan, termasuk sel kanker.
Namun, ada kondisi di mana sel kanker menghasilkan protein PD-L 1 yang membuat ia tidak dikenali sel limfosit. Obat anti PD-1 akan mencegah ikatan PD-1 dengan PD-L 1 pada limfosit dan sel kanker, sehingga ia dapat mengenali sel tumor sebagai benda asing yang harus dihancurkan.
Di Indonesia, sesuai indikasi yang disetujui, imunoterapi menjadi terapi lini pertama pada pasien melanoma yang tergolong unresectable, atau tak bisa disingkirkan sepenuhnya melalui bedah. Anti PD-1 diberikan dalam bentuk suntikan setiap tiga minggu, selama enam bulan.
Kendati biayanya cukup tinggi, kehadiran imunoterapi menjadi harapan baru bagi terapi melanoma. Semoga saja obat anti PD-1 bisa segera masuk BPJS.
Komentar