Aurelien Francis Brule ke Hutan demi Primata
Kecintaan terhadap satwa primata jenis owa menuntunnya untuk sampai ke Indonesia. Tanah Borneo menjadi pijakan pertama yang langsung membuatnya jatuh cinta. Perjuangannya selama bertahun-tahun dalam membebaskan satwa langka mulai menuai hasil.
Kelangsungan primata di rimba raya Sumatera dan Kalimantan sering kali terabaikan oleh masyarakat sekitar. Kepedulian terhadap habitat mereka masih dianggap kurang sehingga keberadaannya pun kian langka.
Namun tidak demikian dengan Aurelien Francis Brule. Seorang warga Perancis yang kini telah resmi menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) ini sudah 20 tahun lebih mengabdikan hidupnya demi mengembalikan populasi satwa primata seperti owa, monyet, kukang dan lainnya ke alam bebas.
Dedikasi pria asal Perancis yang kini menetap di Palangkaraya ini patut diapresiasi. Di tangan Aurelien yang kini tenar disapa Chanee Kalaweit ini, kehidupan satwa jenis primata mulai mendapat perhatian banyak pihak. Chanee yang sejak kecil tertarik dengan owa (hylobates muelleri) mendapat sponsor dari aktris Perancis, Muriel Robin yang membaca buku karyanya tentang owa untuk pergi ke Asia dan Thailand.
"Keseriusan saya dalam melakukan penelitian serta observasi kehidupan owa di Thailand membuat penduduk setempat memberi nama Chanee dari bahasa Thailand yang artinya owa kepada saya. Begitupun ketika saya datang ke Kalimantan pada tahun 1998, masyarakat sekitar yang merupakan suku Dayak memberi nama Kalaweit (owa). Sejak saat itu nama saya Chanee Kalaweit," ujarnya bangga.
Sejak tiba di tanah Borneo di tahun 1998, Chanee berjuang untuk mendapatkan kepercayaan pemerintah Republik Indonesia (RI) untuk memperoleh izin menggunakan hutan sebagai kawasan konservasi owa. Menurutnya, membutuhkan perjuangan panjang untuk beraksi nyata demi mengembalikan satwa primata khususnya owa ke alam bebas.
Banyak persoalan yang harus dihadapi ketika pertama kali dirinya memulai program konservasi ini, apalagi saat itu Indonesia sedang dalam masa reformasi. Demi sebuah komitmen, Chanee terus berjuang menyuarakan betapa pentingnya program konservasi satwa primata ini, meski banyak kendala.
Usaha pria kelahiran Frejus, Perancis, 2 Juli 1979, dalam menyelamatkan satwa liar memang penuh liku. Setelah melakukan observasi, mengenal masyarakat setempat di Kalimantan Tengah, dan bolak-balik ke Kementerian Kehutanan untuk menjalin kerjasama, tanpa buang waktu pria yang memiliki ketertarikan pada primata sejak umur 12 tahun ini pun bergegas membuat serangkaian program demi keselamatan populasi satwa liar tersebut. Dirinya kemudian mendirikan Yayasan Kalaweit dan Program Konservasi Siamang Primata Langka di Palangkaraya.
"Yayasan ini bertujuan untuk menyelamatkan primata dan hewan-hewan yang terancam punah akibat kebakaran hutan, perburuan dan perdagangan hewan langka. Kami melakukan pendekatan secara kekeluargaan dengan masyarakat sekitar yang masih memelihara satwa langka tersebut untuk bersama-sama mengembalikannya ke alam," jelasnya.
Untuk menghidupkan yayasan yang didirikannya, Chanee juga rajin menjalin hubungan dengan banyak pihak di berbagai belahan dunia, khususnya Perancis, negara asalnya. Chanee sengaja membuat website www.kalaweit.org sehingga memudahkan siapa saja yang ingin berdonasi ke Yayasan Kalaweit.
Secara transparan, Chanee giat melaporkan perkembangan aksinya dengan mengunggah video di berbagai akun media sosialnya. Semua itu dilakukan untuk menyuarakan betapa pentingnya mengembalikan habitat satwa liar terutama yang dilindungi agar bisa kembali ke alam bebas.
"Untuk berjuang menyelamatkan satwa liar, khususnya jenis primata, saya tidak bisa sendirian. Dukungan pemerintah RI tentu sangat dibutuhkan. Saya menjalin kerjasama dengan pemerintah RI untuk tiga hal, pertama, menerima satwa hasil dari perdagangan ilegal atau masyarakat untuk direhabilitasi ke alam bebas.
Kedua, kami bersama-sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) semaksimal mungkin mengamankan area konservasi agar tidak tergusur menjadi lahan perkebunan. Ketiga, kami menyampaikan pesan melalui Radio Kalaweit yang menjadi media untuk mengkampanyekan program penyelamatan hutan dan hewan langka kepada masyarakat," papar Chanee.
Kelangsungan primata di rimba raya Sumatera dan Kalimantan sering kali terabaikan oleh masyarakat sekitar. Kepedulian terhadap habitat mereka masih dianggap kurang sehingga keberadaannya pun kian langka.
Namun tidak demikian dengan Aurelien Francis Brule. Seorang warga Perancis yang kini telah resmi menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) ini sudah 20 tahun lebih mengabdikan hidupnya demi mengembalikan populasi satwa primata seperti owa, monyet, kukang dan lainnya ke alam bebas.
Dedikasi pria asal Perancis yang kini menetap di Palangkaraya ini patut diapresiasi. Di tangan Aurelien yang kini tenar disapa Chanee Kalaweit ini, kehidupan satwa jenis primata mulai mendapat perhatian banyak pihak. Chanee yang sejak kecil tertarik dengan owa (hylobates muelleri) mendapat sponsor dari aktris Perancis, Muriel Robin yang membaca buku karyanya tentang owa untuk pergi ke Asia dan Thailand.
"Keseriusan saya dalam melakukan penelitian serta observasi kehidupan owa di Thailand membuat penduduk setempat memberi nama Chanee dari bahasa Thailand yang artinya owa kepada saya. Begitupun ketika saya datang ke Kalimantan pada tahun 1998, masyarakat sekitar yang merupakan suku Dayak memberi nama Kalaweit (owa). Sejak saat itu nama saya Chanee Kalaweit," ujarnya bangga.
Sejak tiba di tanah Borneo di tahun 1998, Chanee berjuang untuk mendapatkan kepercayaan pemerintah Republik Indonesia (RI) untuk memperoleh izin menggunakan hutan sebagai kawasan konservasi owa. Menurutnya, membutuhkan perjuangan panjang untuk beraksi nyata demi mengembalikan satwa primata khususnya owa ke alam bebas.
Banyak persoalan yang harus dihadapi ketika pertama kali dirinya memulai program konservasi ini, apalagi saat itu Indonesia sedang dalam masa reformasi. Demi sebuah komitmen, Chanee terus berjuang menyuarakan betapa pentingnya program konservasi satwa primata ini, meski banyak kendala.
Usaha pria kelahiran Frejus, Perancis, 2 Juli 1979, dalam menyelamatkan satwa liar memang penuh liku. Setelah melakukan observasi, mengenal masyarakat setempat di Kalimantan Tengah, dan bolak-balik ke Kementerian Kehutanan untuk menjalin kerjasama, tanpa buang waktu pria yang memiliki ketertarikan pada primata sejak umur 12 tahun ini pun bergegas membuat serangkaian program demi keselamatan populasi satwa liar tersebut. Dirinya kemudian mendirikan Yayasan Kalaweit dan Program Konservasi Siamang Primata Langka di Palangkaraya.
"Yayasan ini bertujuan untuk menyelamatkan primata dan hewan-hewan yang terancam punah akibat kebakaran hutan, perburuan dan perdagangan hewan langka. Kami melakukan pendekatan secara kekeluargaan dengan masyarakat sekitar yang masih memelihara satwa langka tersebut untuk bersama-sama mengembalikannya ke alam," jelasnya.
Untuk menghidupkan yayasan yang didirikannya, Chanee juga rajin menjalin hubungan dengan banyak pihak di berbagai belahan dunia, khususnya Perancis, negara asalnya. Chanee sengaja membuat website www.kalaweit.org sehingga memudahkan siapa saja yang ingin berdonasi ke Yayasan Kalaweit.
Secara transparan, Chanee giat melaporkan perkembangan aksinya dengan mengunggah video di berbagai akun media sosialnya. Semua itu dilakukan untuk menyuarakan betapa pentingnya mengembalikan habitat satwa liar terutama yang dilindungi agar bisa kembali ke alam bebas.
"Untuk berjuang menyelamatkan satwa liar, khususnya jenis primata, saya tidak bisa sendirian. Dukungan pemerintah RI tentu sangat dibutuhkan. Saya menjalin kerjasama dengan pemerintah RI untuk tiga hal, pertama, menerima satwa hasil dari perdagangan ilegal atau masyarakat untuk direhabilitasi ke alam bebas.
Kedua, kami bersama-sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) semaksimal mungkin mengamankan area konservasi agar tidak tergusur menjadi lahan perkebunan. Ketiga, kami menyampaikan pesan melalui Radio Kalaweit yang menjadi media untuk mengkampanyekan program penyelamatan hutan dan hewan langka kepada masyarakat," papar Chanee.
Komentar