Ternyata, Anjing Memang Sahabat Terbaik Manusia


Serangkaian penelitian mutakhir, dari uji perilaku, tes genetika, sampai pemindaian MRI, menguak berbagai fakta baru tentang si gukguk. Ternyata, anjing memang sahabat terbaik manusia.

Mari mulai dari penelitian pertama, yang menggunakan pendekatan genetika.

Studi yang dilaporkan Science Advances menguak temuan penting: anjing yang ekstra ramah ternyata memiliki kesamaan genetika dengan manusia dengan gangguan perkembangan yang kebalikan dari autisme, membuat ia hiper-sosial.

Manusia dengan kondisi ini cenderung memiliki karakter yang sangat supel, penuh empati, suka berlama-lama melakukan kontak mata, tentan terhadap kecemasan, dan mungkin memiliki gangguan belajar dan kecerdasan, dari tingkat ringan sampai sedang.

Selain itu, studi tersebut mengungkap perubahan dalam dua gen yang terkait dengan perilaku sosial ekstrem pada anjing, yang juga ditemukan pada manusia yang lahir dengan kondisi yang dikenal sindrom Williams-Beuren.

Temuan ini memberi wawasan baru tentang bagaimana anjing berpisah cabang dari moyang serigala mereka dalam pohon kehidupan, ribuan tahun yang lalu.

Sebelum penelitian ini dirilis, para ilmuwan menduga bahwa selama proses domestikasi, anjing mengembangkan kondisi sosial yang canggih, yang kurang dimiliki oleh serigala.

"Bukti baru ini menunjukkan bahwa tidak seperti serigala, anjing memiliki kondisi genetik yang memicu motivasi besar untuk mencari kontak sosial," ujar salah seorang penulis studi, Monique Udell, pakar ilmu hewan dari Oregon State University.

Dalam studi tersebut, para ilmuwan mempelajari 18 anjing modern dan 20 serigala abu-abu untuk menemukan seberapa sosial hewan-hewan tersebut terhadap manusia dan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah.

Bagaimana caranya? Kedua spesies tersebut ditempatkan ke dalam ruangan berisi kotak puzzle. Tugas mereka: mengangkat tutup kotak jika ingin mendapatkan sosis.

Di ruangan yang sama, ada manusia yang berjaga-jaga. Para peneliti ingin tahu, apakah hewan-hewan itu akan meminta bantuan manusia.

Hasilnya? Para serigala lebih mampu menemukan solusi sendiri untuk mendapatkan sosis ketimbang anjing.

Sebaliknya, para anjing sering kali menatap penuh harap pada manusia di dalam ruangan. Tatapan tersebut terhitung lama, jauh di atas batas perilaku yang diharapkan pada hewan dewasa.

Setelah itu, para ilmuwan mengambil sampel darah untuk menganalisis seberapa sesuai profil genetika anjing dan serigala dengan perilaku mereka.

Para peneliti mendapati variasi dalam dua gen - GTF21 dan GTF21RD1 - ternyata berkaitan dengan perilaku hiper-sosial pada anjing, yang menjadi faktor inti domestikasi yang memisahkan anjing dari serigala.

Pada anjing, tambahan genetika unik bernama transporon pada area genetika tersebut dikaitkan dengan kecenderungan kuat untuk mencari kontak manusia.

Beberapa dari transporon ini hanya ditemukan pada anjing domestik, bukan pada serigala, tegas Bridgett vonHoldt, assistant professor ekologi dan biologi evolusi di Princeton University yang juga salah seorang peneliti studi.

Adam Boyko, pakar genetika anjing dan assistant professor di Cornell University, menganggap studi tersebut sangat penting dan menarik. "Ini mungkin salah satu studi pertama yang berhasil mengidentifikasi varian genetika spesifik yang penting dalam perubahan serigala menjadi anjing," tegasnya.

Selama ini, kapan dan bagaimana anjing terdomestikasi ribuan tahun lalu telah menjadi subjek perdebatan dalam dunia sains.

Studi terpisah yang dilaporkan dalam jurnal Nature Communications menyatakan bahwa anjing pertama kali terpisah dari serigala sekitar 40.000 tahun lalu.

Studi tersebut meragukan teori bahwa domestikasi serigala dimulai ketika manusia purba berusaha menjinakkan serigala. Sebaliknya, para peneliti menduga proses tersebut dimulai saat serigala liar menghampiri hunian para pemburu dan pengumpul untuk mencari makanan.

Nah, serigala yang lebih berhasil mendapatkan makanan adalah serigala yang lebih jinak dan tidak agresif. Kemungkinan, hewan ini pula yang lebih punya kecenderungan untuk berteman dengan manusia.

Hasil studi ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Udell dan vonHoldt. Perilaku sosial, bukan kecerdasan, telah mendorong anjing untuk menjadi teman bagi manusia.

Sebuah penelitian lain juga mendukung kesimpulan ini.

Penelitian ini dilakukan oleh Dr. Gregory Berns, pakar ilmu saraf di Emory University, Atlanta. Sepanjang karier akademisnya, Berns memiliki satu ketertarikan: mengungkap apa yang dipikirkan anjing.

Untuk menemukan jawabnya, sang ilmuwan melakukan terobosan dengan memanfaatkan MRI. Namun, membujuk anjing untuk menjalani MRI adalah tantangan tersendiri. Berns pun menggandeng Mark Spivak, pelatih anjing profesional.

Setelah menguji coba pada anjingnya sendiri. Berns pun berhasil mendapatkan metode yang sempurna. Ia pun mulai merekrut para pemilik anjing. Berns berhasil melakukan pemindaian terhadap 90 hewan, tanpa pembiusan dan pemaksaan.

Salah satu tes yang dilakukan Berns mirip uji saraf manusia, yakni tes yang mengukur kemampuan untuk menunda gratifikasi. Pada anjing, hal tersebut dilakukan dengan memberikan dosis dan pujian secara bergantian.

Ketika Berns lantas menganalisis respons otak anjing, terutama di pusat rewards, ia menemukan hal menarik, yakni bahwa respons anjing terhadap pujian ternyata 20 persen lebih besar dari respons terhadap makanan.

Hasil riset yang dibukukan dalam What It's Like to Be a Dog tersebut kian mendukung apa yang kita pikirkan selama ini: anjing memang sahabat terbaik manusia.


Pemicu Gigitan Gukguk

Mengapa ada anjing yang menggigit manusia yang sedang tidak mengancamnya?

Ada yang meyakini, pemicunya adalah kemampuan hewan tersebut mengendus rasa takut. Namun, Dr. Katherine Albro Houpt, profesor emeritus di Cornell University College of Veterinary Medicine, menegaskan sejauh ini tak ada bukti yang mendukung.

Memang, anjing memiliki indra penciuman yang hebat. Tapi, menurut Houpt, korban gigitan anjing paling umum justru mereka yang menjulurkan tangan untuk menyentuh anjing sambil berkata, "Aku suka anjing, dan anjing suka padaku."

Jadi, apa dong sebabnya? "Yang kita tahu, anjing memiliki kecenderungan menyerang orang yang tampak pergi dengan cepat," jelas Houpt. "Mereka akan merespons dengan perilaku agresif ala predator, dan bukan karena mendeteksi rasa takut pada korbannya."

Sebaliknya, seekor anjing kemungkinan besar mengacuhkan orang yang tampak tidak bergerak. Itu sebabnya, saat ada anjing yang tampak mengancam, kita disarankan untuk tidak lari, tapi berdiri di tempat dengan kedua tangan di sisi tubuh.


Komentar

Paling Banyak Dibaca 👷👸👳👲👱👮👴👵👷

Selama Bulan Puasa Penghasilan Pengemis Ini Rp. 90 Juta

Ts'ai Lun, Penemu Kertas

Mengenal Komunitas Rajut Kejut

Mengenal Komunitas Yoga Gembira

Angka Penderita Diabetes di Indonesia Semakin Meningkat