Prinsip-prinsip Untuk Membangun Loyalitas Konsumen


Budaya belanja dan fanatisme konsumen terhadap sebuah produk atau produsen merupakan fenomena unik yang menarik untuk diketahui lebih lanjut. Terlebih di tengah masyarakat yang konsumtif dan persaingan antarproduk yang kian sengit.

Seorang warga Korea yang hendak menyewa sebuah rumah di kawasan elite ibukota, meminta semua alat elektronik di rumah tersebut diganti dengan merek Korea. Itulah bentuk loyalitas konsumen pada produk dalam negerinya sekalipun ia berada di negara lain. Berbeda dengan konsumen lain yang tak peduli dan lebih mengutamakan harga serta tren yang ada.

Inilah loyalitas, yang menurut Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc, staf pengajar Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor merupakan perilaku konsumen yang setia kepada suatu produk atau jasa karena merasa adanya kepuasan, sehingga konsumen memiliki hubungan yang erat dengan produk atau jasa tersebut dan tidak ingin beralih kepada merek lain.

Bahkan merekomendasikan konsumen lain untuk mengonsumsi produk atau jasa merek tersebut. Karena itu membangun loyalitas konsumen merupakan langkah strategis untuk meningkatkan keuntungan.

Lebih rinci, Hartoyo menjelaskan pengategorian konsumen berdasarkan berbagai faktor seperti demografi, sosial-ekonomi, dan gaya hidup. Terkait dengan loyalitas, ahli marketing membaginya dalam empat kategori, yaitu konsumen dengan loyalitas premium, loyalitas laten, loyalitas inersia, dan tidak memiliki loyalitas.

Dikatakan premium karena loyalitas yang paling tinggi, membeli berulang-ulang, bangga dan bersedia bertestimoni. Konsumen laten cukup tinggi loyalitasnya, namun tidak sering membeli. Dan loyalitas inersia, sering membeli namun tingkat ketertarikannya relatif rendah. Biasanya karena pertimbangan kepraktisan atau harga yang murah.

"Upaya dalam membangun loyalitas konsumen bertujuan mendapatkan konsumen dengan loyalitas premium," ujar Hartoyo.

Menurutnya, ada banyak faktor mengapa konsumen tetap bertahan mengonsumsi produk atau jasa dengan merek tertentu, meski merek lain memberikan penawaran yang lebih. Diantaranya, puas dan nyaman dengan merek tersebut sehingga percaya kebutuhannya akan terpenuhi, telah memiliki hubungan yang tidak sekedar transaksional, tapi memiliki hubungan loyalitas yang dalam, sehingga akan merasa kehilangan sesuatu manakala beralih pada merek lain. Belum lagi kalau berpindah akan ada biaya.

Dosen IPB ini mengutip buku Service Marketing yang mengemukakan tiga prinsip membangun loyalitas konsumen, yaitu kepuasan, loyalty program, dan membangun sistem untuk mencegah konsumen beralih merek.

Hartoyo menekankan tantangan yang dihadapi oleh produsen pada saat ini adalah kemajuan teknologi yang juga jadi kesempatan dalam pemasaran. Kemajuan teknologi telah mengubah berbagai aspek, seperti persaingan yang kian ketat, kemudahan mengomunikasikan produk atau jasa kepada konsumen, dan mendorong efisiensi produksi.

Bagi konsumen, teknologi memberi banyak pilihan namun juga membingungkan, terutama bagi konsumen yang masih rendah tingkat pendidikannya. Produsen hendaknya memanfaatkan kemajuan teknologi untuk merebut hati dan kepercayaan konsumen.

Selain itu, bangun komitmen bahwa produk atau jasa memiliki kualitas terbaik dan sesuai dengan kebutuhan konsumen. Jaminan kualitas ini memiliki keterlibatan dan nilai (ekonomi, sosial, dan psikologis) yang tinggi bagi konsumen. Komitmen untuk terus membangun hubungan yang baik dengan konsumen, jika dimungkinkan dengan melibatkan konsumen sebagai value co-creation dalam proses produksi barang atau jasa.

Harry Susianto, PhD, staf pengajar Fakultas Psikologis Universitas Indonesia menambahkan, untuk melahirkan loyalitas, sebuah produk harus berkualitas sama bagusnya dengan produk luar negeri, harga bersaing, dan mengandung nilai kekhasan Indonesia, sebab nasionalisme menjadi modal untuk bisa dilirik pasar dalam negeri.

"Ketika sudah loyal dan merasa benefitnya bagus, harga sudah tidak mahal lagi. Pada produk dan jasa yang ada pilihan disitulah loyalitas bisa bermain," ujar Harry.

Kendati demikian, Harry menyayangkan konsumen kita sangat cinta produk luar negeri karena sedikit sekali merek dalam negeri.

"Kita punya produk, tapi tidak punya merek sehingga konsumen tidak ada pilihan, terpaksa beli dari luar," tukasnya.

Kedua pakar ini sepakat bahwa kualitaslah yang melahirkan loyalitas. "Pada segmen masyarakat tertentu, loyalitasnya ada pada kualitas. Harga tidak lagi jadi prioritas. Misalnya pada jasa penerbangan, mayoritas memilih maskapai elite karena kualitas pelayanan dan jaminan tepat waktu dibanding maskapai yang murah namun sering kali bermasalah," ungkapnya.

Sebaliknya, banyak pula konsumen yang mengutamakan harga murah, keinginan mengikuti iklan dan tren terbaru, dan mudah terpengaruh orang lain.

Bicara perilaku konsumen tak bisa lepas dari aspek perlindungan konsumen. Sayangnya, hal ini masih sangat rendah. Harry mengungkapkan entah berapa banyak komplain dan pengaduan yang diabaikan penjual atau produsen.

Padahal ada banyak hal tentang konsumen yang dilanggar tapi tidak perlu sampai ke ranah hukum, cukup diselesaikan pendekatan keilmuan konsumen yang memang spesifik itu. Kalaupun ada yang sampai di pengadilan, keputusan hukum tak berpihak pada konsumen. Disinilah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sejatinya bisa menjembatani masalah yang timbul dari hubungan konsumen dan produsen.

Harry membandingkan lembaga perlindungan konsumen di luar negeri yang dibiayai pemerintah sehingga mampu bekerja maksimal. Misalnya membuat rating tentang minuman mana yang kandungan gulanya banyak, tapi mengklaim bebas gula. Karena dana tersedia cukup banyak, sehingga tidak menunggu ada masalah baru bergerak.

"Perusahaan atau penjual sering lupa bahwa sesungguhnya mereka termasuk konsumen juga. Sayangnya, konsumen itu hanya dibutuhkan saat membeli, selebihnya tidak. Makanya bukan konsumen yang jadi raja, tapi produsen. Saat rusak mau protes atau minta ganti, tidak bisa atau dipersulit," tukas Harry.

Untuk produsen, Harry mengingatkan, bijaklah dalam menjual barang, bukan mengiming-imingi beli kopi dapat mobil. Ini tidak mendidik, justru merupakan pembodohan pada konsumen. Begitu pula tabungan di bank, dengan jumlah tertentu bisa dapat mobil mewah, sehingga konsumen saat memilih bank, yang dipelajari hadiahnya bukan kondisi bank tersebut sehat atau tidak. Jangan pula memberi diskon besar menaikkan dulu harganya atau diskon besar untuk barang stok lama. Hal ini tentu saja menyalahi aturan UU Konsumen, namun tak ada pihak yang memprotesnya.

"Didiklah konsumen dengan baik, sehingga akan tercipta hubungan dan iklim jual beli yang baik pula," pesan Harry.

Konsumen memiliki hak-hak yang dijamin dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999). Dalam pasal 4, konsumen memiliki 8 hak, diantaranya hak untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang atau jasa, hak untuk memilih dan mendapatkan barang atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi jaminan yang dijanjikan, hak untuk mendapat informasi yang benar, jelas, dan jujur, serta hak untuk didengar pendapat dan keluhannya.

Pelanggaran hak konsumen harus dihindari karena berisiko tinggi bagi keberlangsungan bisnis. Jika haknya dilanggar, konsumen dapat mengadu ke lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (misalnya YLKI) atau lembaga perlindungan konsumen yang resmi dibentuk oleh undang-undang, baik di tingkat nasional (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) maupun di tingkat kabupaten/kota (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen).

"Tetapi, yang lebih penting adalah bagaimana konsumen harus bisa memberdayakan diri dengan terus berupaya untuk meningkatkan pengetahuan konsumen dan melakukan pembelian dengan teliti," pesan Hartoyo.

Menurutnya, upaya perlindungan konsumen di Indonesia mengalami kemajuan yang cukup baik, walaupun masih banyak kasus yang merugikan konsumen. Problem lazim seputar hubungan konsumen-produsen biasanya karena rendahnya komitmen para pihak untuk berlaku jujur. Produsen dianggap memberikan informasi yang kurang tepat dan konsumen melakukan pembelian yang kurang teliti dan kurang mencari informasi. Dan pengaturan pelayanan melalui aplikasi online yang pengaturannya belum sempurna semakin menambah daftar masalah tersebut.

Konsumen yang bijak, menurut Hartoyo, memiliki perilaku membeli yang sesuai dengan kebutuhannya, selalu berusaha melakukan pembelian yang terbaik dan terencana, sehingga sumber daya yang dimilikinya bisa dipergunakan dengan memberi manfaat yang besar bagi kehidupannya.

"Menjadi konsumen yang loyal bukanlah hal buruk, karena dengan menjadi konsumen yang loyal, produsen akan mempertimbangkan suara dan keluhannya," pungkasnya.


Komentar

Paling Banyak Dibaca 👷👸👳👲👱👮👴👵👷

Selama Bulan Puasa Penghasilan Pengemis Ini Rp. 90 Juta

Ts'ai Lun, Penemu Kertas

Mengenal Komunitas Rajut Kejut

Mengenal Komunitas Yoga Gembira

Angka Penderita Diabetes di Indonesia Semakin Meningkat