Penyebab dan Faktor Risiko Batu Empedu


Problem batu dalam tubuh tidak hanya terjadi pada ginjal, tetapi juga pada kantung empedu. Mari mengenal apa itu batu empedu.

Tahukah Anda di mana letak kantung empedu?

Organ kecil berbentuk buah pir ini terletak persis di bawah hati. Fungsinya adalah menyimpan cairan empedu yang digunakan untuk membantu proses pencernaan dan penyerapan lemak dalam usus halus.

Nah, peradangan atau kolesistitis adalah masalah yang paling sering terjadi pada kantung empedu, ungkap Dr. Yarman Mazni, Sp.B-KBD, staf pengajar Departemen Bedah Fakultas Kedokteran UI/RSCM.

"Peradangan tersebut disebabkan adanya batu di dalam kantung empedu, sehingga cairan empedu terperangkap di dalamnya dan menyebabkan peradangan. Hal ini menyebabkan nyeri pada ulu hati, terutama setelah mengonsumsi makanan berlemak," jelas Dr. Yarman.

Sesuai namanya, batu empedu merupakan batu yang ada di dalam kantung empedu.

Dalam kondisi normal, tidak ada batu di sana. Pada beberapa kondisi, peradangan dapat terjadi tanpa adanya batu, dan ini dikenal sebagai acalculus cholecystitis.

"Batu empedu terbentuk ketika kandungan cairan empedu seperti kolesterol ataupun bilirubin - suatu zat dalam darah - menumpuk dan membentuk partikel yang keras seperti batu," jelas Dr. Yarman.

"Berdasarkan penyusunnya, batu empedu terbagi menjadi batu kolesterol dan batu pigmen. Di Indonesia, batu pigmen menempati posisi terbanyak," tandas Dr. Yarman.

Penjelasan senada disampaikan oleh Dr. Maria Mayasari, Sp.B-KBD, dari RS St. Carolus.

"Penyakit batu empedu adalah adanya endapan batu di dalam sistem empedu. Kaum awam menyebutnya kantung empedu," ungkap Dr. Maria.

"Perjalanan penyakit ini umumnya diawali dengan gejala kembung berulang, terutama setelah makan, dan ini kemudian berkembang menjadi keluhan nyeri perut di kanan atas yang menjalar ke punggung sebelah kanan, secara hilang-timbul," ujar Dr. Maria.

Apakah penyebab batu empedu?

Dr. Maria mengungkap bahwa gangguan proses pemekatan cairan empedu mengakibatkan pengkristalan yang berakhir dengan terjadinya batu empedu. Ini dapat diakibatkan oleh kadar kolesterol tinggi, stasis cairan empedu, infeksi, dan pemecahan sel darah merah yang tinggi.

"Selain kolesterol yang menumpuk, penyebab lain dari batu empedu adalah terlalu banyak bilirubin yang disebabkan oleh kerusakan hati atau penyakit pada sistem darah," jelas Dr. Maria.

"Khusus di Indonesia, kebiasaan makan yang tinggi lemak dan gaya hidup masyarakat yang tidak terkontrol menjadi faktor yang berkaitan dengan kejadian batu empedu," ungkap Dr. Yarman.

"Secara klasik, faktor risiko batu empedu dikenal dengan sebutan 4F: Fat, Forty, Female, Fertile," ujar Dr. Maria.

Artinya, penyakit ini lebih sering ditemukan pada perempuan usia 40-an yang berbadan gemuk dan memiliki banyak anak.

Patut diketahui bahwa 80 persen penderita batu empedu tidak merasakan gejala. Namun, pasien juga bisa memiliki keluhan nyeri di ulu hati atau perut kanan atas yang terutama timbul setelah makan. Gejala lain adalah mual, muntah, dan demam.

Bicara prevalensi, Dr. Yarman menyebut bahwa batu empedu pada ras Asia berkisar 3-15 persen. Diduga, angka ini tak jauh berbeda pada Indonesia dan negara Asia Tenggara lain.

Sementara itu, Dr. Maria mengungkapkan bahwa angka kejadian batu kantung empedu di negara maju cukup tinggi, yakni berkisar 10-15 persen dari seluruh populasi.

Bagaimana diagnosisnya?

Menurut Dr. Yarman, diagnosis batu empedu ditentukan berdasarkan temuan klinis, yaitu anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Temuan klinis antara lain nyeri pada perut, terutama pada kanan atas,. disertai mual, muntah, dan demam.

Sementara itu, pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan adalah USG pada perut. USG dapat memperlihatkan batu dalam kandung empedu, penebalan dinding kantung, dan pelebaran saluran empedu.

"Apabila pemeriksaan USG tidak dapat memberikan informasi yang cukup, maka diperlukan pemeriksaan radiologis yang lebih canggih, yakni dengan MRCP atau CT scan," tutur Dr. Yarman.

"Derajat keparahan ditentukan oleh gejala dan pemeriksaan yang menunjang, serta seberapa parah kondisi ini merusak tubuh pasien," kata Dr. Yarman.

Menurutnya, ada sejumlah komplikasi yang bisa timbul, seperti sumbatan saluran empedu hingga terjadi peradangan atau infeksi pada kantung empedu, yang disebut kolesistitis. Peradangan juga dapat terjadi pada saluran empedu (kolangitis) dan pankreas (pankreatitis) sebagai akibat dari menumpuknya cairan empedu.

"Berdasarkan gejalanya, derajat kategori batu kantung empedu dibagi menjadi asimptomatik (tidak bergejala) dan simptomatik (bergejala)," jelas Dr. Maria.

"Bila batu kantung empedu simptomatik tidak ditangani dengan baik, ada dua dampak terburuk, yaitu terjadinya kumpulan nanah di dalam kantung empedu yang disebut empyema," Dr. Maria mengingatkan.

Kondisi ini menyebabkan sakit yang luar biasa dan dapat menyebabkan infeksi di seluruh tubuh melalui aliran darah, yang disebut sepsis. Kondisi sepsis ini adalah kondisi yang mengancam nyawa.

Dampak terburuk kedua adalah pankreatitis, yang sering terjadi pada batu kantung empedu ukuran kecil. Batu tersebut dapat menyumbat saluran menuju pankreas dan memicu pankreatitis, yang dalam kondisi berat juga dapat mengancam nyawa.

Kedua pakar ini menyebutkan tata laksana batu empedu dilakukan dengan pembedahan dan medikamentosa atau melalui obat-obatan.
"Penanganan medikamentosa meliputi pemberian terapi disolusi atau melarutkan batu empedu, antinyeri, antibiotik, cairan, dan memperbaiki gangguan elektrolit yang timbul," jelas Dr. Yarman.

Pada kasus batu kolesterol, pemberian medikamentosa dengan asam ursudioksiolat dapat diberikan karena cukup efektif. Namun, karena penentuan batu empedu tidak bisa dilakukan sebelumnya, maka pembedahan menjadi pilihan utama.

Dr. Maria juga menegaskan bahwa terapi dengan obat sering kali tidak efisien dan tidak berhasil. Sampai saat ini, standar pengobatan batu empedu adalah dengan pembedahan mengangkat kantung empedu.

"Pembedahan tersebut adalah pembedahan invasif minimal dengan laparaskopik kolesistektomi. Dengan teknik canggih, komplikasi dibuat minimal dengan hasil yang maksimal," papar Dr. Yarman.

Menggunakan alat laparaskopik, luka yang dibuat di perut hanya berupa 3-4 titik kecil berukuran 0,5 sampai 1 cm, dan pemulihan dapat terjadi dengan cepat.

"Lewat terapi dengan pembedahan, batu empedu jarang sekali timbul kembali. Ini hanya terjadi pada pasien yang memang membentuk batu di dalam hati karena bawaan dari lahir," kata Dr. Maria.


Faktor Risiko Batu Empedu
✓ Berusia di atas 40 tahun.
✓ Perempuan yang baru melahirkan.
✓ Merokok.
✓ Memiliki penyakit saluran cerna.
✓ Berat badan berlebih.
✓ Gaya hidup kurang aktif.
✓ Memiliki diabetes.
✓ Perubahan berat badan yang drastis atau berkurang.
✓ Ada riwayat kelainan empedu sebelumnya maupun pada keluarga.

Gaya Hidup Bebas Batu Empedu
✓ Terapkan diet rendah lemak dan cukup serat.
✓ Hindari makanan yang banyak mengandung lemak jenuh.
✓ Minum air yang cukup.
✓ Kurangi konsumsi kopi atau alkohol.
✓ Lakukan aktivitas fisik teratur.
✓ Jaga berat badan agar tidak berlebihan.


Komentar

Paling Banyak Dibaca 👷👸👳👲👱👮👴👵👷

Selama Bulan Puasa Penghasilan Pengemis Ini Rp. 90 Juta

Ts'ai Lun, Penemu Kertas

Mengenal Komunitas Rajut Kejut

Mengenal Komunitas Yoga Gembira

Angka Penderita Diabetes di Indonesia Semakin Meningkat