Mengintip Teknologi Dinding Es di Jepang
Setelah hantaman tsunami pada 2011, seluruh pabrik nuklir di Jepang ditutup. Padahal, 30 persen listrik mereka dipasok dari sana. Fukushima adalah salah satunya, yang kini memanfaatkan teknologi "dinding es" untuk mengatasi kebocoran nuklir. Yuk, intip caranya.
Prefektur Fukushima pernah menjadi rumah bagi salah satu pabrik tenaga nuklir terbesar di dunia. Setelah gempa berkekuatan 9,0 skala Richter mengoyak Jepang pada Maret 2011, kebocoran materi radioaktif membuat reaktor nuklir seluas 3,5 kilometer persegi tersebut terhenti beroperasi.
Saat ini, sesuatu yang signifikan sedang dibangun Fukushima Daiichi Nuclear Power Station. Dari atas, kita mungkin akan melihat hal yang mencolok selain beberapa pipa perak yang berbaris lurus, dikerdilkan oleh gedung-gedung reaktor nuklir raksasa yang gosong di dekatnya.
Namun, cek apa yang ada di bawah tanah: dinding dari tanah sedalam 100 meter dan panjang 1,5 kilometer. Diberi nama Land-Side Impermeable Wall, tapi lebih dikenal dengan sebutan "dinding es", proyek ini terdengar seperti bagian dari novel fiksi ilmiah atau film James Bond.
Realitanya, dinding es tersebut merupakan upaya ambisius sekaligus kontroversial untuk menghentikan banjir dari air tanah ke gedung-gedung pembangkit tenaga nuklir yang rusak akibat gempa.
Dibangun oleh pemerintah Jepang dengan biaya 320 juta dollar AS, dinding es tersebut bertindak sebagai bendungan bawah tanah yang akan menghambat air tanah memasuki gedung-gedung reaktor. Dinding itu juga dapat membantu menghentikan kebocoran air radioaktif ke Samudera Pasifik.
Meski dapat dimanfaatkan untuk berbagai hal, dinding es tersembunyi di Fukushima dikritik sebagai solusi mahal yang terlalu rumit. Kekhawatiran itu muncul kembali setelah operator pembangkit tenaga nuklir mengumumkan bahwa salah satu bagian yang telah dinyalakan lebih dari tujuh bulan yang lalu belum membeku sepenuhnya.
Beberapa pihak memperingatkan bahwa dinding itu, yang ditenagai oleh listrik, amat rentan terhadap bencana alam - persis pusat pembangkit listrik itu sendiri, yang telah kehilangan kemampuannya untuk mendinginkan reaktor setelah tsunami setinggi 13 meter mengakibatkan aliran listrik di sana padam.
Mengapa reaktor ini sangat rentan terhadap masuknya air tanah? Di tahun 1960-an, Tokyo Electric Power Co. (TEPCO) mengikis satu sisi bukit untuk membangun pembangkit listrik tersebut lebih dekat ke laut. Tujuannya agar mereka bisa lebih mudah memompa air ke sana. Faktor ini juga yang membuat bangunan rentan kebanjiran.
Namun, sampai tsunami menerjang, reaktor tersebut bisa menghindari masuknya air. Mungkin bencana alam itu sendiri, atau meledaknya tiga dari total enam reaktor pasca tsunami, yang telah memungkinkan air tanah masuk. Sejak itu, hampir 150.000 liter air terus membanjiri bangunan-bangunan reaktor setiap hari.
Setelah berada dalam gedung, air menjadi sangat radioaktif, menghambat upaya-upaya untuk meruntuhkan pembangkit listrik itu. Selama kecelakaan, bahan bakar uranium menjadi begitu panas sehingga sejumlah orang yakin ia melelehkan lantai baja reaktor. Banjir air radioaktif menghalangi para insinyur untuk mencari bahan bakar uranium itu.
Bagaimana dinding es sebagai solusi masuknya air ke dalam reaktor nuklir dibangun? Jawabnya ada pada mesin pembeku terbesar di dunia.
Dengan dukungan teknologi canggih, pipa-pipa sepanjang 30 meter ditenggelamkan ke dalam tanah dengan jarak 1 meter, dan diisi larutan garam yang telah didinginkan sampai minus 30 derajat Celcius. Masing-masing pipa membekukan satu kolom tanah berdiameter 50 cm di sekelilingnya, dan seterusnya hingga mereka membentuk penghalang tak terputus.
Dibutuhkan waktu dua bulan lagi tanah di sekitar pipa untuk membeku sepenuhnya. Untuk memadatkan seluruh dinding yang terdiri dari 1.568 pipa bawah tanah, diperlukan 30 unit pembeku besar yang menghabiskan listrik cukup banyak untuk memasok 13.000 rumah Jepang selama setahun.
Menurut para insinyur dari perusahaan konstruksi Kajima Corporation yang membangun dinding es tersebut, teknik penghalang beku untuk menghambat air tanah telah digunakan untuk membangun terowongan dan tambang di seluruh dunia, tetapi belum pernah ada yang sebesar ini - apalagi di lokasi bencana nuklir.
Setelah dua tahun, Kajima pun selesai memasang pipa dan unit pembeku untuk menciptakan dinding es. Maret 2016, mereka mengaktifkan sebagian dinding es untuk pertama kali - jaraknya sekitar 800 meter di antara bangunan reaktor dan Samudera Pasifik. Sebagian lain diaktifkan pada pertengahan Juni.
Atas perintah Nuclear Regulation Authority, agensi nuklir Jepang, pembekuan dinding es dilakukan bertahap.
Jika tidak, institusi tersebut khawatir pemutusan air tanah yang terlalu mendadak bisa memicu arus balik yang menyebabkan air bermuatan radiasi di dalam reaktor meluber ke tanah sekitarnya, bahkan mungkin mencapai Samudera Pasifik.
Di penghujung 2016, TEPCO melaporkan 99 persen bagian dinding di sisi laut telah sukses membeku. Tapi, ada sejumlah titik yang gagal menjadi padat karena kandungan sampah atau pasir sisa pembangunan setengah abad lalu, yang membuat air tanah mengalir melewatinya begitu cepat dan sulit membeku.
Untuk mengatasinya, Tatsuhiro Yamagishi, juru bicara TEPCO, mengatakan lubang-lubang tersebut disumbat dengan semen. Namun, mereka yang skeptis terhadap proyek ini mempertanyakan berapa lama semen bisa bertahan.
Bukan itu saja yang diragukan para skeptis.
Menurut mereka, strategi penghalang beku biasanya hanya bekerja sementara dalam menahan air tanah di situs-situs pembangunan. Selain itu, sistem ini bisa rusak di bawah tekanan beroperasi di lingkungan beradiasi tinggi - di mana gempa bumi berikutnya bisa kembali memadamkan listrik.
"Mengapa membangun dinding raksasa yang rapuh ketika tersedia solusi yang lebih permanen?" kata Sumio Mabuchi, mantan menteri pembangunan. Mabuchi menjabarkan solusi lain, yakni dinding lumpur - saluran yang diisi beton cair dan biasa digunakan untuk menghalangi air.
Pemerintah Jepang masih punya tantangan lain: bagaimana mereka menangani kumpulan air tercemar yang telah terkumpul. Meski mereka telah memasang sistem penyaring yang dapat menyingkirkan partikel nuklir, satu zat radioaktif bernama tritium tetap membandel.
Jika air bermuatan tritium ini dibuang ke Samudera Pasifik, Jepang akan mendapat tantangan keras dari para nelayan dan dunia internasional. Tampaknya, dibutuhkan teknologi canggih lain untuk mengatasinya.
Menangkis Skeptis
Isao Abe, insinyur Kajima Corporation, punya sejumlah jawaban untuk menghadapi kaum skeptis yang menganggap teknologi dinding es bukan solusi terbaik.
Abe, yang mengawasi pembangunan dinding es, mengatakan perusahaannya telah membuat dinding es itu lebih tahan lama dengan memasang pipa-pipa bawah tanah yang mudah diganti jika berkarat.
Ia juga menegaskan bahwa dinding es dapat menutup sendiri. Artinya, jika ada gempa lagi yang menimbulkan retakan, setiap air yang masuk akan langsung membeku dan memperbaiki dinding. Abe mengingatkan bahwa diperlukan waktu berbulan-bulan bagi dinding untuk mencair - memberi banyak waktu kepada para insinyur untuk memulihkan listrik jika terjadi kepadaman.
Abe bahkan optimis dinding es tersebut beroperasi sampai 2021. Ia mengingatkan, dinding es adalah bagian dari strategi yang lebih besar dalam membendung kebocoran zat radioaktif.
Komentar