Green Building, Mengapa Penting?



Ada banyak cara memperingati Hari Bumi Sedunia yang jatuh pada 22 April.  Salah satunya dengan memahami pentingnya prinsip bangunan hijau dalam langkah konkret menyayangi Bumi.

Apa yang terlintas di benak Anda saat mendengar istilah green building?

Mungkin tak sedikit yang membayangkan bangunan hijau secara harafiah: sebuah gedung atau rumah dengan banyak tanaman di kanan dan kiri, maupun seluruh bagian dinding.

Budijanto Chandra, auditor dan expert EDGE (Excellence in Design For Greater Efficiencies), menekankan bahwa green building lebih dari sekedar bangunan dengan banyak tanaman. Sebaliknya, ini adalah sebuah konsep menata dan menjaga gaya hidup dan lingkungan secara beriringan.

"Tujuan green building adalah pertama meningkatkan efisiensi penggunaan energi listrik dan air. Kedua, mengurangi dampak lingkungan dan dampak bagi kesehatan manusia," ujar Budijanto.

"Ini karena menempati bangunan yang tidak sehat akan berimbas pula pada tubuh. Jadi, dampak lingkungan dan dampak kesehatan manusia, itulah dua kunci penting bagi green building," tandas Budijanto.

Pemaparan senada ditegaskan Nirwono Joga dari Kemitraan Habitat, organisasi nirlaba yang bertujuan mewujudkan permukiman layak huni dan berkelanjutan.

Menurut Nirwono, bangunan hijau adalah bangunan yang dibangun dengan memenuhi prinsip-prinsip hijau, yaitu bangunan hemat bijak lahan, tidak semua lahan diperkeras, menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) 30 persen, hemat penggunaan air, dan melakukan konservasi air.

"Tujuannya adalah jika setiap bangunan menerapkan prinsip-prinsip bangunan hijau tersebut, tentu akan menghemat air, energi listrik, sampah yang terbuang akan sedikit, dan pada akhirnya akan menguntungkan bagi pelestarian alam," jelas Nirwono.

Mengapa bangunan hijau penting?

Budijanto menekankan bahwa saat ini green building menjadi solusi dalam mengatasi pemanasan global yang sudah sangat mengkhawatirkan.

"Panas suhu Bumi setiap tahun cenderung naik. Akibatnya adalah perubahan iklim seperti yang sudah kita rasakan, dengan musim hujan dan kemarau yang tidak menentu," tandas Budijanto.

"Sejumlah negara terancam kebanjiran, bahkan tenggelam. Sebaliknya, perubahan iklim drastis juga memicu kekeringan dan membuat kebutuhan pangan terganggu, karena pertanian tidak berjalan dengan semestinya," tambahnya.

Kabar baiknya, sejumlah kota di Indonesia sudah mengeluarkan aturan yang mengharuskan pemenuhan persyaratan green building untuk mendapatkan IMB.

Sebagai masyarakat, kita pun bisa berpartisipasi dalam penerapan prinsip bangunan hijau. Contoh, berhemat listrik dan air. Untuk air, misalnya, kita bisa membangun sarana penampung air hujan, atau mengolah air limpasan kamar mandi dan cucian, sehingga penghematan bisa mencapai 70 persen.

Dampaknya? Selain mengurangi beban biaya bulanan untuk listrik dan air, kita juga menurunkan emisi CO2.

 Ini akan mengurangi efek pemanasan global dan pemakaian bahan bakar dari fosil yang akan habis.

Selain itu, properti yang menerapkan prinsip green building  sebenarnya memiliki commercial value, karena bangunan hijau juga terkait erat dengan kenyamanan para penggunanya.

Misalnya, bukaan jendela yang memungkinkan ventilasi udara secara alami, memungkinkan pemandangan ke luar gedung dari dalam ruangan, dan mengurangi tingkat kebisingan.

Baik Nirwono maupun Budijanto tak menampik tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan bangunan hijau.

"Kendala dalam penerapan green building ada pada kurangnya dukungan berbagai pihak, termasuk pemerintah, yang semestinya bisa memberi dukungan berupa keringanan pajak dan biaya bangunan" tukas Nirwono.

Budijanto turut mencatat sejumlah tantangan yang dihadapi. Pertama, pengetahuan tentang green building di Indonesia masih kurang. Kedua, kita butuh peraturan tegas, seperti sudah dimulai di Jakarta dan Bandung, untuk mencegah dampak pemanasan global.

"Misalnya, peraturan bahwa 30 persen area harus ditumbuhi tanaman. Kalau ini tidak tercapai, maka harus dibuat green wall. Jika tidak, harus dibuat roof garden dan area resapan air dan limpasan air hujan," jelas Budijanto.

Tantangan lain adalah keengganan pemilik bangunan untuk mengeluarkan investasi di muka, misalnya untuk water recycling system atau panel surya. Padahal, investasi tersebut akan kembali dalam waktu tidak terlalu lama, dan biaya operasional gedung setiap bulan bisa dihemat sampai 50 persen.

"Saat suatu bangunan sudah didesain dan bangunan sesuai standar green building, maka sepanjang operasional bangunan tersebut, penghematan energi dan air selalu berlangsung, terutama jika betul-betul komitmen sejak awal," tandas Budijanto.

"Jangan sampai manajemen tidak efektif, sehingga akhirnya bangunan tersebut kembali 'sakit'. Pihak manajemen hendaknya membuat aturan yang mengikat bagi para penghuni bangunan untuk sama-sama menjaganya," Budijanto mengingatkan.

Misalnya, pihak tenant atau penghuni apartemen diberi aturan untuk tidak memakai lampu yang bukan LED. Kemudian, masing-masing unit apartemen diberi meteran listrik sehingga pemakaian listrik bisa terkontrol. Atau, pelihara tanaman penyerap polusi, baik dalam maupun luar ruang.

"Keterbatasan lahan juga bukan merupakan alasan untuk tidak menerapkan prinsip green building
. Justru semakin sempit lahan, maka semakin irit penggunaannya, karena semua fasilitas publik ada di satu area," pangkas Budijanto.


Aspek Penting Green Building

Tepat Guna Lahan
Green Building semestinya dibangun di daerah yang mempunyai infrastruktur lengkap, seperti transportasi publik, resapan air, akses komunitas ke pasar, apotik, rumah sakit, dan fasilitas publik lain. Ini penting untuk mengurangi penggunaan kendaraan.

Efisiensi dan Konservasi Energi
Sedapat mungkin memakai alternatif lain pengganti listrik, seperti panel surya. Atau, manfaatkan pencahayaan alami. Kurangi pula radiasi panas matahari yang masuk ke dalam bangunan, agar beban pendinginan dari AC tidak terlalu besar.

Konservasi dan Efisiensi Air
Misalnya, gunakan keran dengan debit air 2 liter per menit

Kesehatan dalam Ruang
Hindari pemakaian cat tembok dari bahan dasar yang berbahaya bagi kesehatan.

Material Ramah Lingkungan
Secara sederhana, pemakaian material bangunan diharapkan dapat memakai prinsip reduce, reuse, dan recycle, serta mengurangi emisi karbon (carbon footprint) dalam proses ekstraksi, pengolahan, produksi, pengiriman, dan aplikasi.

Manajemen Bangunan
Ini terkait pengelolaan lingkungan bangunan itu sendiri. Misalnya, pengelolaan sampah yang tepat.


Sertifikat Green Building

Di Indonesia, ada dua sertifikasi green building yang berlaku: EDGE (Excellence in Design For Greater Efficiencies) yang dikeluarkan World Bank, dan Greenship dari Green Building Council Indonesia. Sertifikasi mengaudit bangunan sendiri terbagi menjadi dua tahap. Pertama adalah tahap desain, yang diajukan berdasarkan gambar dan desain bangunan. Jika sudah selesai dibangun, ada sertifikasi final. Audit bangunan ini tak hanya berlaku pada bangunan yang belum dibangun, tapi juga pada bangunan yang sudah jadi.


Ciri Bangunan Hijau
* Bahan bangunan ramah lingkungan dan bisa daur ulang.
* Memiliki sumur resapan, kolam penampung, atau pengolahan air.
* Hemat menggunakan listrik, dengan menggunakan lampu LED, sensor, dan elektronik hemat energi.
* Memiliki sirkulasi udara lancar dan pencahayaan ruang, sehingga penggunaan AC dan lampu dapat berkurang.
* Memanfaatkan energi alternatif terbarukan, seperti panel surya, bayu, biogas, atau mikrohidro.


Komentar

Paling Banyak Dibaca 👷👸👳👲👱👮👴👵👷

Cemplon, Lenthok, dan Cothot Makanan Untuk Cemilan di Rumah

Yo Ko, Kisah Cinta The Return of The Condor Heroes

Ts'ai Lun, Penemu Kertas

Setelah Luka, Timbullah Keloid

Aurelien Francis Brule ke Hutan demi Primata