Awas, Jangan Sembarangan Mengunggah Foto Anak
Ketahui aturan main membagikan foto buah hati ke media sosial agar anak terhindar dari bahaya.
Setiap detik, beragam tingkah anak-anak berseliweran di dunia maya, baik yang diunggah oleh dirinya sendiri, orangtuanya, anggota keluarga lain, atau siapa pun yang mengabadikan momen tersebut.
Lucu, menggemaskan, dan membanggakan. Tiga poin inilah yang menjadi alasan paling lazim orangnya mengunggah foto maupun video anak-anak ke media sosial agar bisa dilihat oleh semua orang.
"Orangtua mengunggah foto anak ke media sosial sebagai bagian dari ekspresi pribadi, baik kebahagiaan maupun kebanggaan," ujar Alfikalia, M.Si., staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Paramadina.
"Di sinilah pentingnya pemahaman terhadap digital literasi untuk orangtua," papar psikolog yang akrab disapa Lia ini. "Salah satu aspek dari digital literasi adalah security atau keamanan."
"Pertimbangkan aspek ini, sejauh mana pengunggahan foto akan merusak keamanan si anak. Ini terutama karena setelah menjadi konten digital, sebuah foto atau video akan bisa dilihat oleh siapa pun tanpa batas," jelas Lia.
Aspek lain adalah penghargaan terhadap privasi seseorang. Bagaimana seseorang dapat menghargai privasi, termasuk anak sendiri. Pahami bahwa sebagai individu, anak juga mempunyai hak terhadap privasinya.
Butuh contoh? Mari simak pemaparan Abimanyu Wahjoehidajat, pakar IT yang juga Managing Director PT Innovasi Mitra Solusindo.
"Bayangkan ada satu foto tentang anak kita. Konten tersebut bisa dibuat oleh si anak sendiri atau orangtuanya, temannya, kakaknya, atau bahkan orang yang tidak dikenal yang merekam tingkah anak yang dianggap menarik," Abimanyu memulai.
Konten itu tersimpan di gawai kita atau bahkan orang lain, yang berarti ada risiko dibaca oleh orang lain, mulai dari disadap sampai diunduh ketika gawai bermasalah dan direparasi. Jika penyedia reparasi "nakal", konten itu bisa disebarluaskan.
"Terjadilah proses berantai. Entah karena dipinjam teman atau terkirim ke orang lain. Apalagi jika sudah berada di media sosial, siapapun berpotensi melihat. Penyebaran ini bisa dilakukan secara sadar atau tidak, seperti salah pencet," jelas Abimanyu.
Awalnya, ini sekadar foto biasa yang disimpan untuk diri sendiri.
Namun, jika sampai jatuh ke pihak yang tidak berkepentingan, foto yang kini bisa diakses siapa pun bisa saja dilihat oleh orang yang memandang anak sebagai objek yang menarik untuk dibahas.
Abimanyu memberi ilustrasi. Misalkan ada anak perempuan yang masih kecil dan mengenakan rok mini yang lucu. Meski awalnya orangtua memotret anak untuk konsumsi keluarga, dengan mengunggah foto ke internet, mereka tidak bisa lagi mengendalikan keamanan foto itu.
"Jika sampai ke tangan orang yang tidak bertanggungjawab, mereka bisa membalas foto itu, dari bercanda sampai serius, bahkan bisa juga melecehkan," tandas Abimanyu.
Skenario lain adalah saat anak membuat foto atau video sendiri di dalam kamarnya dengan gawai yang dia miliki.
"Karena merasa ini ruang privat, maka anak juga merasa bebas merekam hal-hal privat yang mungkin niatnya hanya untuk koleksi sendiri dan lucu-lucuan. Tapi, ketika ponselnya dipinjam atau direparasi, tersebarlah konten tersebut," tutur Abimanyu.
"Karena itu, konten apa pun, dari yang biasa saja sampai yang aneh dan tidak senonoh, jika sudah tersebar ke mana-mana maka kita tidak lagi bisa mencegahnya," Abimanyu mengingatkan.
Dalam hal ini, ujar Abimanyu, UU ITE pasal 27, 28 dan 29 menjadi aturan yang sering kali dilanggar. Pasal tersebut berlaku untuk siapa pun, termasuk keluarga.
Lia menekankan, jika hanya ada kita dan anak dalam foto tersebut, mungkin tidak terlalu masalah. Akan jadi masalah kalau ada orang lain di luar kita dan anak, misalnya ada temannya si anak atau teman kita.
Abimanyu juga mengingatkan bahaya saat yang tersebar bukan hanya foto diri, melainkan juga foto lingkungan, seperti kamar, rumah, atau kompleks tempat tinggal. Informasi tersebut bisa digunakan orang lain untuk "mengintip" rumah dan kehidupan si objek.
Karena itu, untuk keamanan, Lia menyarankan agar ketika kita mengunggah foto anak, pastikan tidak ada nama dan alamat sekolah, termasuk informasi pribadi yang bisa dilihat semua orang.
"Ini penting agar informasi pribadi tersebut tidak dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggungjawab. Apa pun alasan mengunggah foto anak, foto diri dan orang lain, aspek security dan privasi sangat penting untuk diperhatikan," tegas Lia.
Ini kerap kali diabaikan karena kesadaran masyarakat yang rendah dan kurangnya pemahaman terhadap digital literasi. Digital intelligence atau kecerdasan digital sangatlah dibutuhkan ketika ada tantangan dalam kehidupan dan dunia digital yang sehari-hari ditemui.
Memiliki digital intelligence berarti mampu menjaga reputasi di dunia maya serta memanfaatkan media digital dengan lebih bijak, tak lupa untuk mengutamakan keamanan dan menjaga keselamatan diri dan keluarga.
Kecerdasan digital juga berarti kita bisa melindungi diri dari ancaman yang bisa mengganggu data-data personal. Selain itu, digital communication juga perlu dipahami, yakni bahwa ada hak orang lain yang ikut terlibat ketika ada beberapa orang di dalam foto atau video.
Bahaya akan semakin kelihatan ketika anak-anak kita sudah bisa mengakses media sosial.
Saat ini, anak usia SD sudah mengakses internet dan media sosial, bahkan punya akun sendiri, misalnya Instagram. Nah, sudahkah anak dibekali dengan kemampuan mengelola waktu dan diri, serta kiat melindungi dirinya ketika berselancar di internet?
Ancaman berikutnya adalah cyber bullying. Bayangkan jika sebuah unggahan foto maupun video di Instagram mendapatkan tanggapan atau komentar negatif. Akan sangat berbahaya jika anak tidak bisa menyikapinya.
Cyber bullying juga bisa hadir dalam bentuk gambar bernuansa seksual atau pornografi ketika akun media sosial anak dibajak dan digunakan untuk hal-hal lain.
Kita bahkan belum bicara soal bahaya predator di dunia maya yang banyak mengincar anak.
Awalnya, para predator mendekati anak sebagai sosok teman. Dengan penampilan meyakinkan dan cara bicara sopan, predator membangun kepercayaan anak lewat perhatian, misalnya menyapa setiap hari lewat pesan singkat di internet.
Abimanyu mengingatkan bahwa mendeteksi predator di dunia maya sangat sulit, sebab mereka tidak selamanya bertampang menakutkan. Sebaliknya, bisa saja penampilannya baik-baik, apalagi dia ingin menjalin komunikasi intens dengan anak dan membuat anak merasa nyaman.
Jumlah pengguna internet di Indonesia saat ini adalah 135 juta, sedangkan pengguna media sosial lebih dari 57 juta.
"Predator yang memasang profil orang lain tentu sulit dikenali, sampai ada yang benar-benar kenal dengan orang tersebut dan menyadari bahwa dia bukan user yang sebenarnya," tegas Abimanyu..
Sayangnya persoalan ini kerap diabaikan, bahkan dianggap tidak mendesak dan tidak penting, sehingga tidak perlu ada aturan main. Belum lagi anggaran bahwa '"ini akun saya, ya suka-suka saya,'" tegas Lia.
Karena itu, Lia mengingatkan kembali pentingnya edukasi digital bagi orangtua, tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk diteruskan pada anak-anak.
Komentar